Larangan sepeda motor melintas dari Bundaran Senayan hingga Bundaran HI akan diberlakukan mulai 1 Mei 2016 yang bertepatan dengan Hari Buruh Internasional (May Day). Beberapa marka jalan yang melarang sepeda motor melintas pun sudah terpasang dengan jelas di sekitar jalur ini. Namun beberapa berita yang beredar akhir-akhir ini menyebutkan bahwa hal ini masih wacana dan belum diputuskan. Isu pelarangan ini hanya berita palsu (hoax) yang beredar di media sosial serta aplikasi obrolan di ponsel.
Lalu, apa gunanya marka jalan yang sudah terpasang rapi disana? Apakah cuma hiasan semata?
Terlepas dari benar atau tidaknya wacana ini, menarik untuk ditunggu apakah peraturan baru ini akan dijalankan dengan konsisten dan setidaknya mengurangi kepadatan sepeda motor (belum termasuk kepadatan mobil), terutama pada jam sibuk di pagi hari dan sore hari.
Saya pribadi yang juga sering melintasi kawasan Sudirman dengan sepeda motor kurang setuju dengan peraturan baru ini dari sisi jam pemberlakuan (jam 05.00 s/d jam 23.00). Sebaiknya larangan sepeda motor melintas di Jalan Sudirman diberlakukan pada jam berangkat dan pulang kantor saja, yaitu jam 06.00-09.00 dan jam 17.00-20.00. Hal ini dapat menyulitkan mereka yang berprofesi sebagai kurir, tukang ojek, dll yang setiap harinya melintas dengan sepeda motornya.
Jalur-jalur alternatif yang dianjurkan untuk sepeda motor memang banyak selain melintasi jalan Sudirman, namun tidak semua orang harus melalui jalan tertentu untuk menuju tujuan tertentu, misalnya para civitas dan mahasiswa Unika Atma Jaya di Semanggi.
Untuk masuk ke kampus Atma Jaya, mereka tentu harus melalui jalan Sudirman. Karena terletak di ujung jalan, tentu para pengendara sepeda motor akan kesulitan masuk ke dalam kampus, padahal pengendara motor yang datang dari arah Grogol menuju kampus Atma Jaya hanya melintas di Jalan Sudirman sejauh 100-200 meter saja. Belum lagi mereka harus mencari rute baru untuk pulang ke rumah, karena pintu keluar kampus langsung di depan Jalan Sudirman.
Larangan sepeda motor di Jalan Sudirman sebaiknya diberlakukan jika memang Electronic Road Pricing (ERP) siap dibebankan untuk mobil. ERP pasti didukung penuh oleh masyarakat terutama yang tinggal dan/atau bekerja di Ibu Kota, asalkan kebijakan ini tidak merugikan sesama pengguna jalan yang sama-sama membayar pajak kendaraannya.
ERP cocok sekali dibebankan kepada kendaraan roda empat atau lebih, terutama untuk pemilik mobil mewah yang melintas di jalan-jalan utama Ibu kota Jakarta. Kendaraan umum yang tersedia juga harus mempersiapkan armada serta layanannya yang (mungkin) bisa mengajak orang-orang beralih ke transportasi umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H