Sang surya tak pernah tampak lelah membagikan sinarnya pada bumi. Ia menghangatkan ketika pagi. Ia mengeringkan saat siang. Ia memancarkan indah cahaya jingga saat bumi yang kita pijak bergerak seolah sang surya yang justru tenggelam dari pandangan. Lalu ia meneruskan pancaran sinarnya ke belahan bumi yang lain, di mana mata kita tak lagi mampu menjangkaunya. Ia mendangkalkan apa yang ada di sekitar kita, hingga bola mata hati kita bebas untuk melihat segalanya. Sembari bumi bergerak melingkar dan berputar, ia selalu memberi kesempatan pada malam untuk datang dan menjanjikan kemunculannya saat wajah bumi yang kita pijak kembali menghadapnya.
Dalam jaman yang berkembang, dalam radius yang tak panjang, mata kita masih bisa mengenali warna dan bentuk benda-benda di sekeliling kita. Namun, saat jauh pandangan terlempar, segalanya tampak hitam. Meski dipaksa, sulit adalah rasa ketika otak kita ingin mengenali warna dan bentuk lewat mata. Justru yang terlampau jauh dan tak tampak saat siang yang akan dengan mudah untuk diterawang. Bintang, bulan, bahkan planet lain, mereka seperti mata yang terus berkedip indah ketika kita perhatikan. Jalanan tampak lengang, mungkin hanya sesekali tampak orang berlalu-lalang. Benturan piston-piston mesin kendaraan berhenti karena tak lagi digagahi. Hanya ada sedikit benda buatan manusia yang tak berhenti berbisik. Jam dinding, pengondisi suhu dan angin, serta papan ketik di antaranya. Di luar ruangan, jangkrik tak berhenti bernyanyi kanon, bersahut-sahutan bak orkestra yang sedang berdendang. Cicak pun tak henti-henti menyerukan namanya yang diberikan manusia. Berjalan ke sana ke mari, mendaki dinding licin, menggantung di langit-langit; hanya demi melumpuhkan nyamuk untuk dimakan, gaya gravitasi bumi rela ia lupakan. Mungkin hanya itu yang terlihat, yang terdengar, dan yang bergerak; saat malam telah menyeruak.
Kenyataannya, dalam keheningan malam, masih ada yang sibuk mengungkapkan perasaan. Dalam pekatnya malam, masih ada yang terus memikirkan masa silam. Dalam sunyinya malam, masih ada yang tetap terjaga hanya untuk mengenang cintanya yang sudah hilang. Hening, gelap, sepi, tak ada lawan bicara, kecuali diri sendiri. Refleksi diri tentu terjadi kalau suasananya sudah seperti ini. Tak ada yang mengganggu fokus pikiran, tak ada yang mengalihkan perhatian, dan tak ada yang mampu mengusir cinta lama untuk enyah dari ingatan. Sedangkan hati tak pernah mau tinggal diam dan membiarkan pikiran bekerja sendirian. Hati selalu duduk di samping pikiran untuk menguatkan, namun justru emosi ikut terbawa ke permukaan.
Malam memang bukan siang. Siang mendangkalkan, sedangkan malam membuat segalanya menjadi dalam. Iya, malam ibarat lautan yang dalam. Sekali kita tenggelam dalam malam, sesak nafas akan menyerang. Semakin dalam, semakin ingin melihat justru mata akan terpedihkan. Peluh tak akan tampak dari sudut-sudut mata karena tersamarkan dan menyatu dengan malam yang dalam. Teriak sampai serak pun tak akan ada yang mendengarkan. Malam begitu kuat menggali dan menjadikan suasana semakin dalam. Bahkan malam tak segan menelan perasaan. Seperti menyiksa, tapi tak memaksa. Dalam malam, ada yang rela tenggelam bersama kenangan. Ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H