Mohon tunggu...
Ardi Prasetyo
Ardi Prasetyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Musik, Literasi, Bisnis

Begitu banyak instrumen kehidupan, seperti halnya musik. Lalu, kupelajari satu per satu, pun agar harmonis hidup yang kumainkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kuan, Belajar Merasakan Kebodohan

20 Januari 2019   03:38 Diperbarui: 20 Januari 2019   03:44 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: Dakatour.com

Ialah Kuan, seorang pekerja proyek pembangunan jembatan di perantauan. Langkahnya berat, lambat, namun mantap. Sepatu boot berhidung baja melekat erat dengan gambaran sosoknya. Memang suatu kewajiban bagi seorang pekerja proyek untuk memakai sepatu jenis itu. Tentu ditujukan demi keselamatan kerja. Namun, bukan kewajiban yang melekatkan karakter sepatu jenis itu dengan sosok Kuan. Melainkan, latar belakang Kuan sendirilah alasannya.

Suatu ketika, Kuan, lelaki kurus tinggi berambut ikal itu terlihat sedang asyik memindah-mindahkan sentuhannya pada sederet buku di rak perpustakaan kampusnya. Tap.. Tap.. Tap.. Sembari berjalan pelan, berat, namun mantap langkah kakinya. Ia tengah mencari buku tentang hakekat kehidupan. Tanpa berbekal judul, tanpa berbekal nama penulis; ia terbuka terhadap perihal itu dalam pencariannya. Baginya, yang terpenting adalah isinya berkaitan dengan hakikat kehidupan. Itu saja.

Dalam sebuah perjalanan solo menuju suatu tempat di lereng pegunungan, Kuan menghentikan laju sepeda motor bergaya jap warna hitam yang ditungganginya untuk menepi di sebuah warung kopi. Tap.. Tap.. Tap.. Berat, lambat, namun mantap langkah kakinya saat berjalan beberapa langkah untuk memesan segelas kopi. Dari seruputan pertama, dalam hati, ia berkata, "Kopinya pahit. Sayangnya gula yang dicampurkan terlalu banyak untuk ukuran lidahku." Entah mengapa, ia tak bilang saja kopinya kemanisan.

Di sebuah pondokan di lereng gunung, Kuan menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar. Kakinya selonjoran tumpang tindih. Lengkap dengan sepatu boot yang selalu memantapkan langkah kakinya. Tangannya menyangga sebuah buku yang tengah terbuka. Dari buku yang sisi kirinya tampak jauh lebih tipis dibandingkan sisi kanannya, hingga sebaliknya. Sebab, memang baru pertama kali ia membaca buku tersebut. Sebuah buku tentang hakikat kehidupan yang dipinjam dari perpustakaan.

Kuan mengulang aktivitasnya tanpa paksaan. Baginya, itu suatu kebahagiaan. Pergi ke perpustakaan, merenung di lereng gunung, membaca buku yang mayoritas memaparkan berbagai gagasan tentang hakikat kehidupan. Secara formal, sesungguhnya ia belajar tentang teknik sipil. Namun, secara informal, ia tekun menggali pengetahuan tentang makna kehidupan. Bidang eksak dan sosial mutlak sama-sama dibutuhkan. Sebab hidup merupakan proses menuju keseimbangan. Itulah landasan pemikiran Kuan.

Pendidikan formal teknik sipil berhasil diselesaikan. Empat setengah tahun tak membuatnya merasa terlalu bodoh terkait disiplin ilmu tersebut. Justru hakikat kehidupanlah yang bahkan hingga ia bekerja semakin membuatnya merasa tak tahu apa-apa tentang makna kehidupan itu sendiri. Sebab, semakin banyak belajar tentang suatu ilmu, maka semakin merasa bodohlah kita terhadap ilmu tersebut. Rasa bodoh yang kian berat itu dirasakannya sendiri seolah semakin kuat ditarik gravitasi. Sedangkan, orang lain merasakan hal yang berlawanan tentang pemahaman Kuan terhadap kehidupan. Ibarat tanaman padi yang batangnya kian melengkung saat makin berisi akibat ditarik gaya gravitasi bumi. Kuan lah padi itu. Sedangkan hanya kita yang tahu bahwa nyatanya Kuan semakin berisi.

Sejak awal memasuki masa studi di perguruan tinggi, Kuan mulai mengagumi sepatu boot berhidung besi. Sebab tampak sepadan saat dipakai menunggangi motor japstyle-nya; pun menurutnya nyaman saat dipakai untuk mengapeli cantiknya alam pegunungan. Hingga pada akhirnya, sepatu jenis itu kian sehati dengan langkah kaki. Rasa percaya dirinya pun kian terpenuhi. Itu lah Kuan. Sosok pria bersepatu boot yang makin hari kian merasa bodoh perihal kehidupan. Sedangkan di mata orang lain, faktanya berlawanan.

Yogyakarta, 20 Januari 2019

Ardi Prasetyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun