Sebuah gubuk tua berdiri tak begitu angkuh di dekat sungai kecil di suatu desa. Rimbun pepohonan tumbuh menjulang mulai dari bibir sungai hingga melangkahi pekarangan rumah kecil itu. Oksigen segar yang keluar dari mulut dedaunan pohon dan rumput liar sejak terbit hingga tenggelamnya sang surya tak henti tersebar ke lingkungan bahkan menjangkau setiap sudut ruangan. Mereka; pepohonan, nyata terasa wujud pengayomannya. Para tupai pun masih begitu bebas hidup di sana. Melompat dari pohon satu ke pohon lainnya tanpa kedapatan terjatuh sama sekali. Suara khas burung pelatuk sesekali terdengar di telinga, dan tak sulit untuk menemukannya sedang mengikis kayu kering untuk dijadikan sumber energinya. Batu-batu hitam penyusun jalan masih banyak yang tampak tajam karena memang jarang kendaraan berlalu-lalang. Jalan itu membentang tepat di depan pekarangan. Mulai dari depan rumah, jalan mulai menurun tajam lalu menghubungkan dengan desa di seberang sungai. Tepat di bawah sana, jalanan begitu pekat gelapnya saat malam hari.
Gubuk kecil itu selalu tampak sepi. Seorang lelaki seperempat abad lah yang menjadi penghuni satu-satunya. Rumah-rumah tetangga pun berjarak sejauh panjang lapangan sepak bola setelahnya. Tak khayal, ayam-ayam peliharaannya begitu dikasihi seperti keluarga sendiri. Rerumputan “Jepang” yang sengaja ditanamnya tampak hijau dan merata tumbuh di halaman depan rumahnya. Lantaran tak tega menginjaknya, setapak tanah pun ia kosongkan sebagai akses untuk menuju ke jalan. Tak bosan ia menata rapi rumah dan pekarangannya di sela-sela hari kerja. Tak heran, meskipun begitu sederhana, dinding rumahnya selalu tampak putih bersih dan terang memantulkan cahaya yang menyinarinya. Pagar berupa tanaman berderet lurus di tepi selokan halaman depan selalu ia pangkas hingga terbentuk pola yang rapi sebagaimana ia mencintai seni. Tak berhenti di situ, rerontokan dedaunan kering selalu ia sapu bersih setiap pagi dan sore hari lalu dikumpulkan di halaman samping dan nantinya dijadikan penyubur alami untuk tanaman sayur-mayur yang ia semai persis di halaman belakang rumah. Timun, kacang panjang, cabai, tomat, dan sebagainya tumbuh subur tanpa tersentuh obat tanaman.
Setiap hari lelaki berkulit sawo matang itu memang tak bisa diam. Aktivitasnya yang padat selalu membuatnya keluar masuk rumah. Selalu ada yg terlewati ketika ia berjalan keluar menuju pintu depan rumahnya. Televisi tabung 21 inchi terbalut kain penutup debu bermotif batik Sido Luhur duduk diam di atas meja bertaplak merah yang berdirinya tak begitu rata. Foto-foto bersama keluarga yang berbingkai murah itu ia gantung rapi mengitari dinding ruang tamu. Sederet tuts hitam putih keyboard berbingkai warna perak tampak berkilau karena selalu bersentuhan dengan sepuluh jemari tangannya setiap harinya. Sebuah gitar akustik tua yang ia punya sejak awal masuk SMA berdiri bersandar dinding berdampingan dengan gitar listrik hitam putih kebanggaannya, pun dekat dengan sebuah kubus hitam bertuliskan Laney berukuran 17 inchi. Meski lelaki berambut ikal itu begitu menyayangi benda-benda tersebut, tapi ia sadar, bukan itu yang membuatnya gelisah saat melalui ruang keluarga sekaligus ruang tamu menuju pintu depan. Memang ada sebuah lemari partisi berwarna cokelat tanpa kaca penutup juga terletak di ruangan itu, tepatnya berdiri membelakangi dinding dekat pintu keluar. Ia lekas memerhatikannya. Ada miniatur gitar dan miniatur piano terpajang di kotak partisi paling kanan sejajar perut lelaki setinggi 164 senti meter itu, toples kaca berisi kerang yang ia kumpulkan ketika berlibur ke pantai ada di kotak partisi sebelah kirinya, sebuah botol kaca kecil transparan berisi bintang origami terletak satu kotak di atas toples kerang, dan beberapa eksemplar buku mengisi kotak partisi lainnya.
Ia sentuh satu persatu benda-benda yang terpajang di lemari partisi itu. Debu terasa menempel di ujung jemari lelaki sederhana itu. Tampaknya memang sudah lama ia tak menyekanya dengan kain lap, bahkan mungkin sejak pertama ia tinggal sendiri di rumah itu. Debunya sudah cukup tebal. Belum semua barang ia sentuh, tiba-tiba pandangan lelaki berbulu mata lentik itu terlempar ke satu kotak partisi di mana sebuah buku tebal tergeletak di di kotak partisi paling kiri sejajar wajahnya. Debu tebal menyamarkan biru warnanya, juga hampir menenggelamkan gambar dan tulisan tebal yang merupakan judulnya. Dibandingkan beberapa buku lainnya, buku ini memang yang paling besar dan paling tebal hingga ia memenuhi satu bidang kotak partisi. Wajar saja, permukaannya yang luas menyebabkan debu-debu leluasa berlabuh di atasnya. Perlahan ia usap sampulnya, dan tak ia hiraukan telapak tangannya kotor karenanya. Karena bagaimanapun, ia memang begitu antusias untuk kembali membuka buku itu.
Tak lama, mulai terlihat semakin jelas biru warna dasar sampulnya. Judulnya yang tercetak dengan huruf tebal pun mulai dapat terbaca. Ia perhatikan lebih detil sampulnya sembari mengingat-ingat tulisan apa saja yang tertera di sana. Pandangannya ia tarik ke sisi bawah sampul buku itu, dan ia dapati dua nama tertulis di sana. Iya, nama-nama itu adalah para penulisnya. Ia mampu mengingatnya dan ia yakin itu. Hari itu matahari sudah beranjak ke sebelah barat rumahnya di mana rindang pohon menghalangi cahaya, sehingga sinar sang surya tak sempurna terpancar sampai ke dalam ruang di mana ia menggenggam buku itu. Lampu ruangan pun terlalu sayang untuk dinyalakan ketika siang. Akhirnya ia putuskan untuk menenteng buku itu ke kursi panjang yang ia buat sendiri dari bambu dan ditanamkannya di bawah pohon cendana berdaun hijau segar di halaman depan pojok kanan rumahnya. Ia sibak satu dua daun cendana kering yang gugur dan tergeletak di atas kursi. Ia tiup pula debu tak kasat mata di bagian kursi yang akan ia duduki.
Rasanya tak salah ia duduk di kursi yang biasanya ia duduki setiap usai menyapu halaman rumahnya itu. Suasananya begitu nyaman. Udara yang baru diproduksi pepohonan tertiup melewati setiap inchi kulit tubuhnya. Suara burung-burung pun lebih jelas terdengar di telinganya. Ia tarik nafas dalam dan dihembuskan perlahan, tak bosan merasakan asrinya alam. Perhatian ia kembalikan pada buku tebal itu. Ia cukup yakin bahwa ia mampu mengingat jelas isinya saat kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan halaman demi halaman buku itu ia baca. Meski tebal, tak luruh niatnya untuk tetap membaca sampai akhir semua yang tertulis di buku itu.
Ia membaca buku itu dengan cepat bab per bab sembari terus meraba ingatannya akan cerita berikutnya. Beberapa kali ia terpaksa memberi jeda saat membaca. Terutama pada bagian-bagian yang menceritakan kejadian-kejadian yang masih ia ingat jelas. Terasa begitu sesak di dada ketika tajam angannya tertuju pada seseorang yang ia ingat. Namun ia tak menangis, hanya sedikit terasa lembab pada bola matanya yang membuatnya harus lebih sering mengedipkan kelopak mata. Usai mengenang satu bagian, seterusnya ia lanjutkan membaca buku itu. Akan tetapi, tiap kali terbaca tulisan tentang momen yang masih begitu kuat di angannya, ia tak kuasa untuk menahan luapan emosinya. Sembari menunduk, tiba-tiba jatuh setetes air luapan emosinya membasahi kertas buku itu. Kelopak matanya pun terasa basah, semakin sering ia berkedip, air mata yang jatuh pun semakin liar membasahi lembaran-lembaran halaman buku itu. Hingga akhirnya tak mampu lagi ia ingat berapa banyak tetes air matanya yang jatuh. Ia begitu trenyuh.
Tak terasa cahaya matahari yang menerangi pandangannya lewat celah-celah dedaunan pun mulai meredup. Lalu ia lihat penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, ternyata memang sudah menunjukkan jam menjelang petang. Lelaki penyinta kopi itu melantak habis sedikit halaman yang tersisa sebelum sang surya genap tenggelam. Masih saja, bulu matanya terpaut satu dengan yang di sebelahnya karena matanya yang belum berhenti berair emosi. Selesai ia baca kalimat terakhir yang tertulis di buku itu, perasaannya pun semakin trenyuh. Ia tak ingin cerita itu selesai sampai di situ. Memang sudah tebal bukunya, karena ceritanya pun terbentuk dari proses kehidupan yang memakan waktu tak sebentar. Ceritanya terbentuk dari perjalanan selama bertahun-tahun, dari remaja umur belasan hingga berkepala dua.
Bagian cerita yang manis, lebih manis dari cairan kuning pekat berpola heksagonal yang dihasilkan lebah. Bagian yang pahit, lebih pahit dari secangkir seduhan kopi robusta kental tanpa pemanis. Bagian cerita yang hitam, lebih hitam dari gelapnya malam di hutan belantara. Cerita yang putih pun seputih dan seterang nur sang surya. Sebuah buku bersejarah, yang ceritanya begitu berwarna seperti biasan cahaya matahari melalui lensa prisma. Ia ingat semua, meski sang waktu sudah berlalu terlalu lama, meski debu tebal telah memudarkan warna dan menyamarkan judul, tetapi semua kalimat di dalam buku itu masih sama, sama sekali tak ada yang berubah.
Rumah sederhana di lingkungan yang damai, asri, nyaman, dan sejuk yang ia tinggali mampu menggambarkan lingkungan hubungannya dengan seseorang yang telah lama berlalu. Begitu menyenangkan dan di matanya sudah sesuai dengan harapannya atas sebuah hubungan rasa yang ideal. Buku itu adalah cerita yang pernah ia bangun bersama sang gadis dalam kurun waktu yang cukup lama. Judul buku itu sangat kuat dan singkat bertuliskan “KITA”. Dua nama yang tertulis di sampul bagian bawah buku itu pun merupakan namanya sendiri dan nama gadis yang masih tetap ia cintai itu. Isi buku itu juga bisa diibaratkan perasaannya yang tak terpengaruh oleh waktu, yang sampai kapan pun akan tetap sama, takkan ada yang berubah. Tebalnya debu yang menyelimuti buku itu menjadi gambaran lamanya waktu yang telah terlewatkan setelah perpisahan. Debu itu juga bisa berarti rindu. Semakin lama tak tersentuh, maka semakin tebal debu, semakin besar rasa rindu. Menyentuh kembali dan menyeka buku itu mampu menghapus rindu, terlebih jika membaca ceritanya atau mengenang kenangannya. Sedangkan, walaupun ceritanya sudah sangat panjang, ketidakinginannya atas cerita yang terputus sampai di titik itu adalah harapannya untuk dapat kembali dengan gadis itu untuk membuat bab-bab baru sampai ia dan sang gadis selesai menjadi saksi kehidupan duniawi. Namun itu hanyalah harapannya, bukan seperti kebutuhan yang harus dipaksakan untuk memperolehnya.
Selalu ada yang harus dikorbankan untuk mendapatkan satu hal baru. Sore ini, ia tak menyapu halaman rumah karena waktunya telah habis untuk membaca buku bersampul debu itu. Halaman rumah tampak kotor karena guguran dedaunan yang berserakan, namun hatinya yang berkabut rindu sedikit terobati setelah kembali membuka buku itu. Akhirnya, ia pun lekas masuk dan menutup pintu rumah mungilnya.