[caption id="attachment_135127" align="aligncenter" width="357" caption="Desa Kalupapi di Pulau Bangkurung"][/caption]
“ Nama saya Ibrahim, tenaga honorer, hanya lulusan SMA tetapi saya mengajar Matematika di SMP dan beberapa SD di Pulau Bangkurung. Sebagai penambah penghasilan, saya juga menjadi tukang kayu dari rumah ke rumah sehingga hampir semua orang di pulau Bangkurung kenal dengan saya” Kata Ibrahim
Itulah awal perkenalan saya dengan seseorang yang kemudian akan menjadi ‘guide’ saya di pulau Bangkurung. Kami berkenalan di atas sebuah kapal kecil (bodi) dalam perjalanandari pulau Banggai menuju ke pulau Bangkurung. Perjalanan dari Banggai ke Bangkurung memakan waktu sekitar 4-5 jam. Kota Banggai memiliki dermaga pelabuhan terbesar di kabupaten ini dan menjadidermaga penghubung (hub-port) dengan dermaga kecil lainnya yang ada di kabupaten yang wilayahnya terdiri atas pulau-pulau ini (342 pulau). Berbagai ukuran alat transportasi laut dapat berlabuh di pelabuhan Banggai, mulai dari kapal berukuran besar yang dioperasikan oleh PT. Pelni sampai kapal angkutan kecil (bodi batang) terbuat dari kayu yang dapat memuat sekitar 10 orang penumpang.
Tepat pukul 10 pagi, kapal kami meninggalkan pelabuhan Banggai. Selama perjalanan saya berusaha mendapatkan informasi tentang pulau Bangkurung dari pak Ibrahim, kenalan baru saya. Maklum ini pertama kalinya saya ke pulau ini. Kami bercerita dengan nada suara yang tinggi, sambil sesekali mencondongkan badan ke lawan bicara berusaha menangkap setiap kata2 yang keluar diantara bising suara mesin kapal. Beruntung sekali saya bertemu orang yang cukup terkenal di bangkurung ini, karena ternyata rencana awal saya keliru. Menurut beliau saya tidak perlu ke desa Lantibung yang merupakan ibukota kecamatan, karena seluruh sasaran dari tugas kantor saya ada di desa Kalupapi. Pukul 15 sore, kapal tiba di dermaga desa Kalupapi. Pak Ibrahim yang sebelumnya hendak meneruskan perjalanannya ke Lantibung, akhirnya turun juga di desa ini demi menemani saya terlebih dahulu.
Desa Kalupapi merupakan salah satu desa yang ada di pulau Bangkurung. Rumah-rumah penduduknya sebagian besar berdiri di atas tanah hasil urug (reklamasi pantai) yang mengelilingi sebuah teluk kecil. Adapula rumah penduduk yang berdiri pada tiang-tiang di atas air laut, layaknya rumah sebagian besar suku bajo. Penduduknya termasuk multi etnik dimana sebagian besarnya merupakan suku asli Banggai, Bajo, dan Bugis.Mata pencaharian utama penduduk adalah nelayan, disamping adapula yang memiliki kebun terutama kopra. Migrasi penduduk dari dan ke pulau ini setiap hari dilayani oleh sebuah kapal (bodi) kecil. Pasar hanya ada seminggu sekali yaitu setiap hari rabu, saat itulah pedagang-pedagang dari luar pulau yang sebagian besar orang bugis datang menggelar dagangannya di desa ini.
[caption id="attachment_135128" align="aligncenter" width="339" caption="Keceriaan Saat Hari Pasar"][/caption]
Di pulau Bangkurung tidak ada penginapan, tidak ada jaringan listrik PLN, dan tidak ada jaringan ponsel. Jadilah saya setengah mengemis meminta penduduk agar bersedia menampung saya di rumahnya untuk beberapa hari ke depan. Alhamdulillah, seorang kepala SD bersedia menampung saya di rumahnya. Setelah memastikan hidup saya aman dan terjamin di desa ini, pak Ibrahim kemudian pamit melanjutkan perjalanannya ke desa Lantibung menggunakan katinting (perahu bermotor). Saat itu sudah jam sepuluh malam.
Keesokan harinya, setelah aktivitas utama saya selesai…saya berjalan mengelilingi desa seorang diri, bahkan sampai ke desa tetangga yaitu desa Bone-Bone. Penduduk pulau ini cukup ramah, namun tetap berkesan menjaga jarak dengan orang yang baru mereka kenal. Karena penasaran dengan sikap warga yang seperti menjaga jarak itu, sesampainya di rumah kepala SD, hal itu saya tanyakan kepada beliau, dan ternyata menurut beliau saya dikira sebagai petugas yang sedangmemantau maraknya pengeboman ikan di sekitar pulau ini. Di kabupaten Banggai Kepulauan, pengeboman ikan masih cukup marak sampai saat ini. Itulah sebabnya banyak terumbu karang yang rusak akibat aktivitas ini. Sangat disayangkan…
Sebagian besar bahkan hampir seluruh nelayan di pulau ini merupakan nelayan tangkap. Gejala overfishing sudah mulai nampak, nelayan mengeluhkan hasil tangkapan yang semakin berkurang apalagi biaya melaut semakin besar. Entahlah, apakah overfishing sebagai akibat dari pengeboman ikan atau sebaliknya pengeboman ikan dilatarbelakangi kondisi yang sudah overfishing, tidak cukup waktu bagi saya untuk tahu sejarahnya. Ketika laut dan isinya dianggap sebagai common property (milik bersama) sehingga kecenderungannya dapat bersifat sangat open acces (terbuka pemanfaatannya bagi siapa saja), maka rasionalitas individual yang berusaha memanfaatkan laut secara optimal bagi kebutuhannya sendiri dapat merusak keberlangsungan pemanfaatan sumber daya itu sendiri.
Keserakahan yang bahasa halusnya bisa dibungkus dengan ‘rasionalitas individual’ sangat sulit dibatasi pada pengelolaan sumber daya milik bersama. Siapa mau mengawasi siapa? Buat apa buang energi untuk saling mengawasi, maka logika yang lebih masuk akal adalah mari kita berlomba memanfaatkannya bagi sebesar-besar kemakmuran kita masing-masing karena yang tersedia sangat terbatas dan akan habis pada waktunya nanti (prinsip rivalitas). Yang menang adalah yang berhasil ‘menangkap ikan’ paling banyak. Hancur dunia….
Kalau ada yang bilang “persoalan di laut jangan dibawa di darat” sangatlah beralasan sebab memang persoalan di laut berbeda karakteristiknya dengan di darat. Hampir semua sumber daya yang ada di darat jelas kepemilikan individualnya (private property). Mengambil pisang di kebun Pak Sukri tanpa sepengetahuan pemiliknya bisa-bisa kena hukum atau kena bacok, tetapi menangkap ikan bisa dilakukan di laut mana saja asal gak ke sampai Malaysia atau wilayah kedaulatan negara lainnya.
Pengelolaan sumber daya milik bersama (common property) memerlukan kesadaran kolektif demi keberlangsungan pemanfaatannya. Kesadaran bisa saja tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat tanpa campur tangan pihak luar, biasanya muncul ketika mulai ada masalah. Namun jika kesadaran yang ditunggu-tunggu tidak juga kunjung hadir sementara sumber daya alam semakin terkuras habis, sebelum semakin parah, regulasi yang tepat sasaran sangat mendesak keberadaannya untuk memaksa timbulnya kesadaran masyarakat. Regulasi yang baik dihasilkan dari perencanaan yang baik, dan perencanaan yang baik melibatkan masyarakat (sekitarnya). Dapat saja terjadi pemerintah tidak perlu membuat regulasi, tetapi merangsang masyarakat yang berkepentingan agar secara kolaboratif menyusun sendiri manajemen pengelolaan lautnya. Yang diperlukan dari pemerintah hanya pengakuan dan dukungan atas manajemen kolaboratif masyarakat setempat tersebut. Peran lembaga adat bisa diberdayakan. Modal sosial (social capital) orang indonesia masih cukup besar kok.
Heh…kenapa jadi serius gini? Ya begitulah yang terjadi di Bangkurung, terumbu karang banyak yang rusak karena pengeboman ikan, regenerasi ikan macet, jumlah tangkapan nelayan semakin lama semakin menyusut. Itulah cerita-cerita yang saya dengar selama berada di sana. Konon katanya pula, ikan hasil pengeboman berbeda secara tampilan fisik dengan hasil tangkapan konvensional. Ikan hasil pengeboman cepat membusuk, mata ikan juga seolah-olah membesar dan mendesak keluar, jika ditekan dagingnya lembek. Weleh…weleh…weleh…di laut pun ada teroris.
Saya tidak terlalu memaksakan diri untuk melakukan banyak aktivitas eksplorasi fisik selama di Bangkurung karena saat itu bertepatan bulan Ramadhan. Saya lebih banyak fokus beribadah (gubraks tuing…tuing…pusing gak lu?).Semoga amal ibadahku diterima di sisi-Nya, amin….
Momen paling mengharukan adalah ketika hari itu adalah hari terakhir dalam rencana kunjungan saya ke pulau itu. Sejak start dari rumah tempat saya menginap, ada 4 orang yang mengantarkan menuju dermaga, 2 dos ikan asin pemberian warga juga turut serta diangkut. Dalam perjalanan menuju dermaga,4 orang itu berhasil mengajak serta warga lainnya sehingga ada sekitar 8 warga yang mengantar ke dermaga. Semuanya sudah saya kenal sebelumnya karena hampir tiap malam selepas shalat tarwih kami bermain domino/gaplek bersama. 8 orang itu belum termasuk anak2 kecil yang mengawal di depan rombongan kami. Ketika sampai di dermaga, pengemudi kapal (bodi) bertanya berapa orang yang berangkat? Ternyata hari itu hanya ada satu calon penumpang, yaitu saya sendiri. Dan kapal pun tidak jadi berangkat.
Kabar segera tersiar ke seluruh desa kalau saya belum jadi pulang dan sampai ke telinga seorang pemilik kapal nelayan. Beliau lalu menawarkan untuk menumpang di kapalnya ikut anak buahnya mengantarkan ikan hasil tangkapan menuju Luwuk. Dari rencana awal berangkat jam 9 malam, molor jadi jam 1 pagi karena menunggu bulan muncul. Rupanya cahaya bulan dijadikan penerangan selama perjalanan karena kapal tidak memiliki lampu sorot.
[caption id="attachment_135129" align="aligncenter" width="300" caption="Perahu alat transportasi utama"][/caption]
Dua jam pertama belum ada masalah, air lautpun cukup tenang. Sampai tiba2 sekitar pukul 3 pagi seseorang membangunkan kami semua karena ternyata kapal mengalami kebocoran, air muncrat keras dari dasar kapal, saat itu ketinggian air dalam kapal sudah hampir selutut orang dewasa. Rupanya salah satu sambungan pipa mesin ke badan kapal terlepas, air laut masuk melalui sambungan yang terlepas itu. Dua orang berusaha keras menutup kebocoran kapal dengan kain seadanya, 4 dari 5 org yang tersisa berusaha mengeluarkan air yang telah masuk ke dalam kapal, saya sendiri bingung mo ngapain. Panik? Iya pastinya.
Beruntung sekali ada pulau kecil terdekat yang bisa segera kami jangkau untuk menepi dan memperbaiki kebocoran. Akhirnya diputuskan untuk melepas salah satu dari dua baling2 kapal agar kebocoran dapat ditutupi dengan sempurna. Dua orang silih berganti menyelam memperbaiki bagian bawah kapal, padahal saat itu air laut sangat dingin.
Butuh waktu hampir sejam untuk menutup kebocoran. Ketika matahari mulai muncul, gelombang laut mulai tinggi dan besar, beruntung kebocoran sdh dapat diatasi. Karena hanya menggunakan satu baling2 kapal, waktu tempuh yang biasanya hanya 8 jam, saat itu kami tempuh dalam 15 jam. Saat berada di antara pulau Peling dan Pulau Sulawesi (Luwuk), kapal kami berkali-kali dihantam gelombang laut yang tinggi. Pengemudi kapal berkali-kali bermanuver untuk mengatasi gelombang tinggi yang datang. Lewat pukul 16.00 kapal kami tiba di pelabuhan pelelangan ikan di kota Luwuk.
[caption id="attachment_135130" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Suku Bajo"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H