Kato Nan Ampek merupakan sebuah aturan dasar berkomunikasi yang khusus hanya ada pada orang Minangkabau. Sejauh saya sadari ini telah mendarah daging dalam hidup saya, keluarga dan masyarakat Minangkabau. Mempelajari adat dan tradisi merupakan kewajiban bagi kita semua, agar tidak luput dari kebiasaan dan pesan leluhur.
Dari sekolah dasar kami anak-anak Minangkabau dibekali dengan ilmu, tradisi dan budaya. Mempelajari Budaya Alam Minangkabau (BAM), tidak terlepas dari aturan pemerintah Sumbar, bahwa seorang pribumi harus tahu dengan tradisi ditanah kelahiran nya.
Bertambahnya umur, dan semakin maju serta canggihnya teknologi, kadang kita luput dengan hal yang mendasar. Oleh sebab itu dengan senang hati saya ingin menjabarkan kembali, dan jangan lupa dipraktekkan. Karena kita hidup dengan bersosialisasi bersama manusia lainnya.
Dari sekolah dasar kami anak-anak Minangkabau dibekali dengan ilmu, tradisi dan budaya. Mempelajari Budaya Alam Minangkabau (BAM), tidak terlepas dari aturan pemerintah Sumbar, bahwa seorang pribumi harus tahu dengan tradisi ditanah kelahiran nya.
Bertambahnya umur, dan semakin maju serta canggihnya teknologi, kadang kita luput dengan hal yang mendasar. Oleh sebab itu dengan senang hati saya ingin menjabarkan kembali, dan jangan lupa dipraktekkan. Karena kita hidup dengan bersosialisasi bersama manusia lainnya.
"Anak ikan dimakan ikan, gadang ditabek anak tenggiri. Ameh bukan perakpun bukan, budi saketek rang haragoi". Artinya: Hubungan yang erat sesama manusia bukan karena emas dan perak, tetapi lebih diikat budi yang baik.
sesuai dengan kearifan lokal Minangkabau, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Maknanya adalah kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan seyogyanya hadir pada pola interaksi kita keseharian.
Andai kalimat tanya itu diucapkan di Sumatera Barat, apakah dilingkungan sekolah, kampus, kantor ataupun di lapau kopi (warung, red), barangkali anda akan langsung kena skakmat.
Terlebih jika diucapkan di daerah kabupaten di Sumbar yang notabene didiami masyarakat yang masih kental pemahamannya akan akar budaya Minangkabau, tentu lebih potensial menjadi sebuah persoalan.
Bisa saja si penanya akan memperoleh jawaban, "Ka sia ang batanyo, lah samo data se diang sawah jo pamatang" (anda bertanya kenapa siapa, jangan disamakan saja antara sawah dengan pematangnya).
Makna jawaban ini sejatinya sungguh dalam, melalui pemilihan diksi yang langsung to the point dan bahasa tersirat, bahkan tidak
mustahil bisa menyerempet pada pihak keluarga si penanya. Bisa jadi kelanjutannya, apakah dia tidak pernah ditunjuk ajar oleh mamaknya (paman, red) cara bertutur kata yang baik.
Cukup menarik untuk memahami fenomena komunikasi dalam konteks kekayaan budaya bangsa sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Sumbar.
Dikatakan Bagindo, bahwa dalam betutur kata di Minangkabau, masyarakat mengenal istilah Kato Nan Ampek, yakninya Kato Mandaki, Kato Malereang, Kato Mandata dan  Manurun.
"Kato Mandaki merupakan etika berbicara dengan orang tua, bertutur katalah dengan sopan dan tunjukkan rasa hormat, " ujar Bagindo.
Selanjutnya dikenal istilah Kato Malereang yang merupakan etika berbicara dengan orang yang dituakan secara adat atau orang-orang terhormat dari status status sosial yang disandangnya. Berbicara dengan saudara ipar merupakan contoh terdekat dari pemakaian Kato Malereang.
"Kato Malereang di Minangkabau juga digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang memiliki latar belakang status sosial tertentu, seperti datuak, tanpa memandang usia. Walaupun usianya masih terbilang muda, namun datuak tetap didahulukan selangkah dan ditinggikan satu ranting, jelas Bagindo."
Tingkatan yang ketiga adalah Kato Mandata, yang merupakan cara bertutur kata kepada teman sebaya. Meskipun seusia, kata yang diucapkan tetap harus dalam koridor saling menghargai dan tidak menyinggung satu sama lain.
Terakhir Kato Manurun yang digunakan saat berbicara kepada orang yang lebih muda, antaranya orang tua kepada anak, kakak kepada adik atau guru kepada siswa dan lainnya. Prinsipnya jangan merasa paling tahu dan paling benar, tutup Bagindo.
Dalam konteks kekinian, pola komunikasi tidak lagi sebatas pembicaraan atau dialog langsung bertatap muka, komunikasi melalui media sosial hari ini seakan tidak bisa dihindarkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI