Mohon tunggu...
I Putu Ardika Yana
I Putu Ardika Yana Mohon Tunggu... Psikolog - seorang psikolog klinis dan penyuluh narkoba ahli pertama

the host, Clinical Psychologist, Movie_mania. "Cinta bersifat rapuh, kadangkala kita tidak merawatnya dengan baik, kita hanya bisa maju terus dengan usaha terbaik dan berharap benda rapuh ini selamat dalam perjuangannya"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngucapin Selamat Hari Raya???

25 Desember 2012   16:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:03 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjelang Natal tahun ini, cukup ramai perdebatan soal boleh atau tidaknya seseorang dari agama lain menguncapkan "Selamat Natal" hmmmm... Negeriku Indonesia mulai lagi.

Berbagai pemahaman atas landasan, ajaran ataupun pelajaran menghasilkan berbagai macam perbedaan penafsiran soal membolehkan atau tidak membolehkan mengucapkannya.

Masalahnya, mengapa ada persoalan membolehkan atau tidak membolehkan, persoalan Halal atau tidak Halal.

Saya jadi berpikir, saya juga mau mencari sesuatu untuk benar-benar memahami Agama dan Tuhan itu sendiri.

Lalu akhirnya, pemikirian yang simple pun terlintas begitu saja.

Menurut saya, memahami Tuhan dan Agamanya itu mudah saja. memahami perbedaannya pun juga sama mudahnya. Menurut saya lagi, pilihan dan keputusan manusia untuk percaya pada satu agama dan satu Tuhan adalah suatu pengalaman subyektif yang jika dipaksakan menjadi pengalaman obyektif hanya akan memunculkan sentimen-sentimen positf berlebihan (fanatik) dan sentimen-sentimen negatif (intoleransi)

Analoginya begini :

Ketika anda memutuskan untuk mencintai seseorang, pernahkan anda berpikir bahwa perasaan cinta itu adalah pengalaman obyektif yang dirasakan oleh semua orang diwaktu bersamaan dan dengan cara yang sama persis seperti yang anda rasakan?

Saya yakin tidak!.

Rasa cinta anda, cara anda mencintai, dan proses anda mencintai seseorang adalah seluruhnya pengalaman subyektif anda.

Saya misalkan seperti ini

Ada seorang teman saya, dia luar biasa hebat, menurut , dia sempurna dari segi fisik, materi, dan kepintarannya. bagi saya segala pencapaiannya diusia muda adalah suatu prestasi yang belum tentu dapat dirasakan oleh seluruh anak muda di dunia ini.

Suatu ketika, ia jatuh cinta dengan seseorang yang serba kekurangan, cacat, miskin, tidak berpendidikan dan tidak memiliki kepintaran seperti dia.

Teman saya begitu tergila-gila dengan wanita tersebut, dia mengatakan bahwa segala yang dicapai saat ini akan terasa lebih sempurna jika ia hidup bersama wanita tersebut. bagi teman saya, wanita itu sangat baik, pengertian, dan memiliki ketegaran hati yang membuatnya menjadi sangat sempurna

Sekarang, ketika saya menilai secara obyektif, jujur saja saya sangat tidak suka dengan pilihan hatinya. mengapa dia bisa jatuh cinta pada orang baginya sangat sempurna, tetapi bagi saya sangat luar biasa jelek? apa yang bisa dia harapkan dari wanita yang duduk di kursi roda, miskin, dan tahu baca tulis pun tidak. ini sama seperti merendahkan diri serendah-rendahnya...

Mau ditaruh dimana muka teman saya itu ketika nanti dia harus memperkenalkan istrinya dihadapan para koleganya yang jelas-jelas orang hebat, jenius dan sempurna?

Saya saja merinding memikirkan bagaimana reaksi semua orang atas pilihan dan keputusannya untuk jatuh cinta pada wanita itu.

Saya kecewa saudara-saudara!!!

Saya mencoba meyakinkan dia dengan segala usaha saya. saya menunjukan hampir semua penilaian saya. bahkan saya pun memanggil beberapa teman saya untuk meyakinkan bahwa pilihannya salah!!!

Saya benar-benar heran. bagaimana wanita itu bisa membutakan matanya. saya tidak percaya ini cinta.

Beberapa bulan kemudian, tanpa mempedulikan nasehat saya, mereka ternyata menikah.

Saya dan teman-teman yang diundang hadir dalam pernikahannya. Sontak saja kami semua bereaksi sangat sentimentil dan menganggap betapa bodohnya dia memilih jalan yang salah.

Saat itu kami sepakat tidak menghadiri pernikahannya dan tidak mengucapkan selamat menempuh hidup baru. Bagi saya, jika saya mengucapkan selamat, sama saja saya menyetujui pilihannya, sama saja saya menerima keputusannya memilih jalan yang salah. itu sangat menjijikan dan sebagai seorang teman, tidak pantaslah saya setuju atas pilihannya itu. Haram Hukumnya!!!

Nah apa yang bisa saya refleksikan dari cerita itu atas peran diri saya sendiri.

Itulah contoh bagaimana ketika pengalaman subyektif dipaksa menjadi pengalaman obyektif bagi orang lain di seluruh dunia

Ketika teman saya jatuh cinta, mencintai, memilih dan memutuskan untuk menikah dengannya, pasti didasari oleh pengalaman subyektif yang mungkin tidak mampu kita pahamisecara obyektif tanpa berusaha memahami dalam sudut pandang dia.

Saya jelas menutup mata untuk melihat pilihan dia terhadap wanita itu karena nilai-nilai yang sudah terlanjur tertanam dalam diri saya. Saya enggan mendengar bagaimana suara hatinya yang secara subyektif merasakan ketulusan cinta dan kasih sayang dari kekasihnya.

Benarkah sikap saya yang menjadge wanita itu hanya berdasarkan apa yang tampak?

Pernahkan saya berusaha memahami perasaan teman saya secara subyektif dari sudut pandangnya?

Adakah bukti secara obyektif bahwa wanita itu jauh dari sempurna seperti yang sudah saya stempelkah?

Tahu kah saya tentang ketulusan cinta dalam pengalam subyektif mereka?

That's it!!!

Itu yang saya maksud dengan pengalaman subyektif manusia kepada Tuhannya. kita bisa mengukur dalamnya lautan, tapi kita tidak pernah bisa tahu kedalam hati manusia kepada Tuhannya dalam pengalaman subyektifnya.

Pengalaman yang terjadi ketika Tuhan masuk ke dalam hati kita, memberikan cinta yang maha sempurna dan mengarahkan kita pada tata cara peribadatan mungkin berbeda dengan orang lain karena berbeda  cara kita memaknai keTuhanannya.

Dalam agama saya saat ini, saya percaya tentang sesuatu yang disebut neraka atau surga, saya percaya bentuk Tuhan saya adalah seperti apa, dan saya juga percaya kalau dia menilai saya seperti apa. akan tetapi pernahkan kepercayaan saya menjadi obyektif yang terlihat dengan jelas bagi seluruh manusia tanpa perlu kita ragu dan memperdebatkannya

Sama kah kepercayaan kita kepada Tuhan menjadi seobyektif kepercayaan kita tentang matematika 2+ 2 = 4 yang jawabannya pasti sama diseluruh manusia?

Saya hanya belajar semua tentang Tuhan melalui kitab suci dan saya sendiri belum pernah tahu tentang surga atau neraka? tapi kenapa saya percaya kalau itu ada? kenapa saya percaya sama kitab suci itu? siapa yang bisa membuktikan bahwa kitab suci benar-benar diturunkan Tuhan? apakah hubungan-hubungan antar ayat dalam kita suci menjadi bukti bahwa itu benar-benar dari Tuhan? Kenapa juga saya percaya pada Tuhan???

Jawabannya mudah teman-teman.

KARENA SAYA TELAH JATUH CINTA KEPADA TUHAN YANG MAHA KUASA DENGAN CARA KAMI BERDUA!!!

CINTA SAYA BUTA HANYA UNTUKNYA, CINTA SAYA MEMBUAT SAYA PERCAYA DIA ADA DAN LUAR BIASA DALAM HIDUP SAYA

Saya sangat percaya jika anda Mencintai Tuhan dengan cara anda sendiri, jangan malu dan berkecil hati dengan cara anda mencinta Tuhan, karena yang penting dari cinta adalah ketulusan untuk mau tumbuh dan berkembang dalam Tangannya.

Apakah anda juga telah mencintainya dan mendapatkan cintanya? jika ia, rasakan itu sebagai pengalaman terindah dalam hidupmu yang unik dan belum tentu dirasakan oleh semua manusia

Kita semua percaya pada Tuhan???

Jika ia, maka letakan segala hidup kita di tangannya, dan biarkan Tuhan dengan segala kepercayaan kita kepadaNya membuat hidup kita menjadi lebih indah.

Akhirnya, saya mau mengucapkan :


  • Selamat Hari Raya Idul Fitri

  • Selamat Hari Natal


  • Selamat Hari Raya Nyepi

  • Selamat Hari Waisak


  • Dan selamat atas pilihan anda mencintai Tuhan dengan cara yang terbaik yang mampu anda lakukan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun