Mohon tunggu...
Ardiansyah
Ardiansyah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pendidik

Belajar-Lakukan-Evaluasi-Belajar Lagi-Lakukan Lagi-Evaluasi Kembali, Ulangi Terus sampai tak terasa itu menjadi suatu kewajaran. Mengapa? Karena Berfikir adalah pekerjaan terberat manusia, apakah anda mau mencoba nya? Silahkan mampir ke : lupa-jajan.id

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Monolog (3)

2 Februari 2025   07:01 Diperbarui: 1 Februari 2025   18:28 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Benang Surya dan Bulan yang Terkoyak di Taman Kagami

Di langit kelam yang dihiasi rasi-rasi kuno, ketika Tsukuyomi-no-Mikoto menenun kabut perak di atas kolam Takamagahara, aku---Ame-no-Uzume---berdiri di antara bayangan pohon sakura abadi yang tak pernah layu. Bunga-bunga itu jatuh bagai air mata Izanami, merah muda memudar dalam keheningan yang disakralkan waktu. Kau, Hikaru-no-Kami, dewa cahaya yang terlahir dari pedang Amenonuhoko, selalu datang dengan senyum sehalus sutra Nishijin dan suara yang mengguncang lempeng-lempeng langit. "Berapa ribu tahun harus kita ulangi tarian ini?" bisikmu suatu malam, saat kirab bintang Subaru melintas di atas bahuku.  

Kita adalah kisah yang tertulis di gulungan emakimono yang terlarang. Cinta para dewa bukanlah ikatan, tapi tsumugi---kain yang ditenun dari benang surya dan rembulan, dirajut oleh tangan-tangan tennin yang buta. Setiap pertemuan kita di jembatan Ame-no-ukihashi selalu berakhir dengan petir Raijin yang memisah: kau harus kembali ke takhta emas di timur, aku terkutuk menari di istana bulan. "Inikah hukuman karena kita menyentuh kegare dunia fana?" tanyamu saat itu, ketika darah Yamata-no-Orochi masih melekat di pedangmu---bau besi dan duka.  

Di malam tanpa Otsukimi, saat bulan bersembunyi di balik kain Fujin, aku menyelinap ke kuil Izumo yang sepi. Di sana, di antara ema yang bergantung bergetar angin, kutemukan tanzaku kau tulis untukku: "Bunga terompet surga merekah di mana kau menapak, tapi mengapa kakiku terbelenggu oleh nama 'dewa'?" Aku tahu, kau merindukan hakanai---kehidupan fana yang kita intip dari balik gerbang Torii. Di dunia sana, katamu, cinta bisa menjadi koi yang sederhana: dua insan, satu futon, dan dapur yang berasap.  

Tubuh kita terbuat dari ama no gawa yang abadi, tapi jiwa kita menjerit ingin dihancurkan seperti haniwa yang dikubur bersama manusia. Ingatkah kau saat kita menyamar sebagai pasangan petani di Edo, menanam padi sambil tertawa mendengar shakuhachi dari gunung? Lima hari itu---sebelum Amaterasu murka dan memanggil badai kamikaze---adalah mono no aware yang kupendam di bilik jantung. Kau berbisik, "Di kehidupan lain, mungkin kita bisa jadi sungai yang menyatu ke laut." Tapi dewa tak punya kehidupan lain. Kita adalah ygen: rahasia yang tak terungkap, melankoli yang terpendam dalam riak kolam.  

Kini, di istana Takamagahara yang dingin, kau dan aku hanya bertemu dalam kagami---cermin upacara yang memantulkan bayangan samar. Kadang, saat upacara Oharae, kulihat sorot matamu di antara asap gomagi yang mengepul. Kita tersenyum, lalu menunduk, seolah tak pernah ada malam ketika mulut kita menyentuh sake ilahi yang tumpah di atas altar. "Cinta para dewa adalah kintsugi," katamu terakhir kali, "retak yang diperbaiki emas, tapi tetap retak."

Maka, biarlah kami di bumi menyembah kita sebagai mitos. Biarlah kygen panggung Noh menertawakan kisah kita. Sebab di suatu sudut semesta, di antara dentang lonceng Byd-in, kita tetap dua titik tinta di atas kertas washi---menari, terpisah, namun selalu tertarik oleh kuas yang sama.  

Hingga Yomi runtuh dan Amaterasu menutup matanya, aku akan menunggu: andai kata karma mengizinkan, di kehidupan ke-8.402, mungkin kita bisa jadi angin yang menggerakkan furin di teras rumah manusia---bersatu, meski tak berwujud.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun