Mohon tunggu...
Ardiansyah
Ardiansyah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pendidik

Belajar-Lakukan-Evaluasi-Belajar Lagi-Lakukan Lagi-Evaluasi Kembali, Ulangi Terus sampai tak terasa itu menjadi suatu kewajaran. Mengapa? Karena Berfikir adalah pekerjaan terberat manusia, apakah anda mau mencoba nya? Silahkan mampir ke : lupa-jajan.id

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Monolog (2)

1 Februari 2025   16:43 Diperbarui: 1 Februari 2025   16:43 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kisah Asmara di Bawah Rembulan Tua

Di tepian senja yang merangkak pelan, ketika sang surya menitipkan warna jingga pada awan, aku duduk termangu di beranda kayu yang berderai. Angin malam membawa bisik-bisik namamu, seperti dulu, ketika kau masih menyandang gelar "kekasih" dalam catatan harianku yang usang. Cinta kita bagai puisi yang tertulis di daun kering---rapuh, namun abadi dalam ingatan musim. Jikalau waktu boleh kuhadap sebagai saksi, akan kukatakan: "Tidakkah engkau lelah, wahai masa, memintal jarak di antara dua jiwa yang enggan terpisah?"

Pernah kau ceritakan padaku tentang bintang-bintang yang mati namun cahayanya tetap sampai ke bumi. Aku pun mencintaimu seperti itu: meski kau telah menjadi kenangan, sisa-sisa hangatmu masih menyengat di tulang rusukku. Di sini, di antara debu buku-buku klasik yang kita baca bersama, kutemukan sepucuk surat yang kau selipkan di halaman Soneta dari Praha. Tulisanmu yang miring itu berkata, "Kekasih, andai kata tak mampu menjembatani rindu, biarlah diam menjadi bahasa kita." Kini, diam itu menjelma lautan---berombak, berpasir, dan kadang menghempasku ke karang kesepian.  

Ada semacam kesunyian yang merajut kita. Seperti dua patung di taman usang, terpisah oleh ilalang yang tumbuh liar, tapi tetap menatap arah yang sama: ke arah matahari terbenam. Kau bilang, cinta kita adalah titian yang terputus, namun mengapa setiap malam, bayang-bayangmu masih menari di dinding kamarku? Aku seperti penyair yang kehilangan metafora---tak bisa melukiskan lara, tapi juga tak sanggup melupakan.  

Di malam-malam panjang, ketika jam dinding berdetak seperti jantung yang sakit, aku sering membayangkan tanganmu yang dulu lihai memetik nada dari piano tua. Setiap not yang kau mainkan adalah mantra yang mengingatkanku: cinta tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya bersembunyi di balik tirai waktu, menunggu kita jujur mengakui bahwa kerinduan adalah bukti bahwa dua jiwa pernah bersatu. Kau mungkin telah menjadi halaman yang terkoyak dari hidupku, tapi kisah kita tetap tersimpan di perpustakaan hati---dijilid rapi, berdebu, tapi tak pernah lapuk.  

Pernahkah kau merenung, bahwa kita ibarat dua sungai yang bermuara di laut sama? Meski tak lagi sejalan, air mata kita tetap mengalir ke tujuan yang serupa. Aku tak menyesali pertemuan kita, meski akhirnya seperti drama Shakespeare: indah, pedih, dan diwarnai monolog-monolog yang tak tersampaikan. "To love is to bleed quietly," katamu suatu hari, mengutip puisi yang tak kutahu judulnya. Sekarang, aku paham: cinta memang luka yang merdu---ia menganga, tapi dari sanalah bunga-bunga bermekaran.  

Andai kelak nasib mempertemukan kita kembali, di bawah rembulan yang sama, di teras yang sama, dengan kopi yang sama---akankah kau masih mengenali rasaku yang telah tercampur pilu? Atau jangan-jangan... kita hanya akan tersenyum, lalu berbincang tentang hujan dan buku, seolah dulu tak pernah ada yang retak?  

Tapi biarlah. Sebab cinta sejati tak meminta kepastian. Ia hanya berbisik, "Aku ada. Di sini. Di setiap detik yang kau hirup." Dan malam ini, di antara deru angin yang membawa lagu-lagu lama, aku memutuskan untuk melepasmu dengan cara yang paling klasik: menuliskan namaku bersamamu di pasir, lalu membiarkan ombak yang memutuskan---apakah kita akan jadi kenangan, atau selamanya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun