O, Bulan di Pantai Jodo
Di tepian samudra yang bergumam, di mana langit dan laut bersatu dalam kabut senja, aku berdiri. Pasir putih yang dingin merangkak di antara jemari, mengingatkanku pada waktu yang merayap pelan, seperti air pasang yang tak pernah lelah mengejar daratan. Bulan, sang perawan pucat, telah bangkit dari peraduannya di balik cakrawala. Ia menyingsingkan selubung malam, menaburkan cahaya peraknya di atas gelombang yang berdegup seperti jantung raksasa yang terpenjara. Â
Pantai Jodo---nama yang terukir dari rindu dan kepergian. Di sini, angin berbisik dalam bahasa yang hanya dipahami oleh mereka yang kehilangan. Ombak mengisahkan dongeng-dongeng silam tentang pelaut yang tak kembali, tentang janji yang terdampar di karang-karang sunyi. Dan bulan... ah, bulan menjadi saksi bisu yang tak pernah bosan. Ia mengintip dari cermin langit, menyinari jejak-jejak kaki yang lenyap ditelan air asin, seolah berkata: "Lihatlah, betapa singkatnya manusia menari di panggung ini, sebelum bayangannya larut dalam gelap."
Kulihat pantulanmu, Bulan, bergoyang di pelukan laut. Kau seperti kaca retak yang memantulkan seribu wajah---wajah-wajah yang pernah kukenal, yang tersenyum sebelum hilang dalam kabut. Di Pantai Jodo ini, waktu adalah ilusi. Masa lalu dan kini berkelindan dalam tarian ombak yang sama. Aku mendengar suara ibu mendendangkan lagu lama, suara ayah yang tertawa di balik debur, suara kekasih yang berjanji akan kembali saat musim berganti... Tapi mereka semua telah menjadi bagian dari pasir, dari angin, dari remang-remang yang kau tebarkan, wahai sang penerang malam. Â
Kadang, aku bertanya: Apakah kau juga merindukan sesuatu, Bulan? Apakah kau menangis dalam diam ketika laut mencuri cahayamu? Atau justru kau bahagia, menjadi mercusuar bagi nelayan-nelayan yang tersesat, menjadi teman bagi penyair yang kesepian? Di sini, di Jodo, semua pertanyaan berakhir dalam desau. Tak ada jawaban, hanya keheningan yang merangkul. Â
Malam semakin dalam. Angin membawa aroma garam dan bunga kamboja yang layu. Ombak terus menyapu batas antara aku dan dunia. Bulan kini menggantung tegak, seakan hendak jatuh ke bumi, menyentuh dahi-dahi yang berlinang. Aku mengulurkan tangan, mencoba meraih sinarmu yang dingin. Tapi yang kudapat hanyalah bayang sendiri---sebuah siluet yang terpisah dari jiwa, terombang-ambing antara realita dan mimpi. Â
Mungkin, inilah yang tersisa: sepi yang merdu, rindu yang tak bernama, dan bulan yang abadi menatap Pantai Jodo. Di sini, di tepi keabadian ini, aku belajar bahwa keindahan dan kepedihan adalah dua sisi mata uang yang sama. Dan kau, Bulan, adalah penjaga rahasia itu---sang penenun cahaya di tengah gulita, sang pengingat bahwa setiap perpisahan adalah awal dari pertemuan yang lain. Â
Tidurlah, Pantai Jodo. Aku akan kembali esok, dengan cerita-cerita baru yang mungkin tak pernah selesai. Sebab di bawah tatapanmu, Bulan, semua kisah hanyalah setitik debu dalam kosmos yang tak terukur...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI