Anselmus dari Canterbury, tokoh sentral filsafat dan teologi abad pertengahan, lahir di Aosta, Italia, sekitar tahun 1033. Mencerminkan ketajaman intelektual sejak awal, Anselmus meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengejar pembelajaran lebih lanjut di bawah bimbingan teolog terkemuka Lanfranc dari Pavia di biara Bec di Normandia. Di Bec, Anselmus berkembang dari murid menjadi mentor, akhirnya naik ke posisi prior dan selanjutnya abbas selama kepemimpinan Lanfranc menjadi Uskup Agung Canterbury.
Keutamaan intelektual Anselmus tidak luput dari perhatian. Pada tahun 1093, dengan enggan ia menerima penunjukan sebagai Uskup Agung Canterbury yang kosong. Jabatan ini membuatnya berkonflik dengan Raja William II dan penggantinya, Henry I, atas hak-hak gereja, menyebabkan pengasingan. Anselmus meninggal pada tahun 1109, tak lama setelah diizinkan kembali ke Inggris.
Filsafat Anselmian
Anselmus dari Canterbury menonjol sebagai salah satu perintis skolastisisme, sebuah pemikiran filosofis yang berupaya mendamaikan tradisi Kristen dengan filsafat Yunani kuno, khususnya, ajaran Aristoteles. Sementara dia adalah seorang realis moderat tentang hal universal, konsep abstrak seperti kemanusiaan atau kebaikan, kontribusi terpenting Anselmus terletak di ranah filsafat agama dan logika.
Dalam karyanya yang paling terkenal, Proslogion, Anselmus menyajikan argumen inovatif untuk keberadaan Tuhan yang sekarang dikenal sebagai argumen ontologis. Berasal dari kata Yunani untuk "ada", argumen ontologis bergantung pada gagasan bahwa Tuhan didefinisikan sebagai "sesuatu yang lebih besar daripada yang dapat dipikirkan."Â
Dikatakan bahwa jika kita dapat memahami konsep kehebatan ini, maka keberadaan Tuhan wajib mengikutinya. Sebab, sesuatu yang ada dalam kenyataan dan pikiran sekaligus harus lebih besar daripada sesuatu yang ada hanya di dalam pikiran. Argumen Anselmus yang sangat berpengaruh ini telah memicu debat sengit antara filsuf dan teolog selama berabad-abad, dengan para kritikusnya yang paling terkenal di antaranya biarawan Gaunilo dan, kemudian, Immanuel Kant.
Merenungkan isu kehendak bebas dan dosa asal, Anselmus berusaha menyeimbangkan kedaulatan dan kemahakuasaan Tuhan dengan tanggung jawab manusia atas pilihan moral. Kehendak bebas, baginya, merupakan unsur penting dari citra Ilahi di dalam kemanusiaan. Teorinya tentang dosa asal berupaya untuk merekonsiliasi pandangan Augustinian, di mana semua manusia adalah keturunan Adam, dengan rasa keadilan ilahi. Pandangan Anselmus menekankan kegagalan yang tak terhindarkan untuk menghormati Tuhan sepenuhnya tanpa anugerah-Nya.
Anselmus terkenal dengan pepatahnya "fides quarens intellectum" ("iman mencari pemahaman"). Pepatah ini mencerminkan keyakinannya bahwa iman memiliki prioritas yang tak terbantahkan atas akal. Namun, iman baginya harus aktif mencari klarifikasi intelektual. Akal memainkan peran penting dalam memahami, mendalami, dan mempertahankan kekayaan kebenaran yang terkandung dalam keyakinan Kristen.
Di luar teologi, Anselmus memberikan kontribusi berharga dalam bidang logika dan metafisika. Dia memelopori karya konsekuensi logis serta penyelidikan filosofis tentang sifat modalitas (yaitu konsep 'kebutuhan' dan 'kemungkinan').
Pemikiran Anselmus memiliki pengaruh yang mendalam pada teolog dan filsuf Kristen di Abad Pertengahan dan seterusnya. Teolog besar seperti Thomas Aquinas bergulat dengan warisan Anseln, menyetujui beberapa hal dan membantah yang lain. Argumen ontologisnya terus memicu perdebatan dalam filsafat.Â