Membuka kajian modernitas dengan sudut pandang sosiologi adalah keputusan yang sesuai dan terukur. Modern dalam KBBI diartikan sebagai sesuatu yang terbaru; mutakhir, sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntunan zaman. Di zaman modern, manusia adalah pelaku digital yang mengendalikan dan dikendalikan. Definisi ini dapat dicermati lewat tren yang berkembang secara singkronis, beberapa tren muncul di tengah masyarakat lewat sebuah usaha. Namun, di sisi lain tren juga bisa tumbuh di masyarakat lewat fenomena-fenomena yang menarik simpatik.
Di jejaring media sosial individu adalah pelaku yang dikendalikan, sedangkan individu berdinamika adalah yang mengendalikan. Sebuah budaya di internet, timbul dan tenggelamnya dapat dikendalikan dan mengendalikan dalam beberapa momen periodik.
Pola Kemasyarakatan Pemelihara Kelestarian budaya
Tipe pola kemasyarakatan kita dalam pemeliharaan budaya adalah defensif. Hal ini dibuktikan oleh berbagai pergerakan Homo Digitalis di jejaring internet ketika melakukan pelestarian sebuah budaya yang diklaim oleh negara lain. Reog misalnya, sebuah kebudayaan yang eksistensinya skala daerah. Meskipun Reog salah satu ikonik budaya nasional, namun pelestarian periodiknya hanya pada acara-acara tertentu. Hal ini tentu membuat reog menjadi kebudayaan yang timbul tenggelam di kaca digital. Ketika terdapat indikasi klaim oleh negara lain, berbondong-bondong Homo Digitalis membuat petisi-petisi, poster, hingga meramaikan tagar dengan harapan adanya pengakuan lingkup nasional yang dapat mendukung usaha pengajuan budaya di meja bundar.
Dewasa ini, di senjakala modernitas, pelaku kebudayaan semakin mengilhami pola defensif. Bukan hanya reog, tapi juga angklung, beras adan, batik, dan lagu rasa sayange juga mengalami fluktuasi digital yang komprehensif secara tiba-tiba. Hal ini menjadi sebuah studi kasus menarik untuk diteliti. Tentunya, pendekatan yang tepat dalam studi ini adalah lewat sudut pandang etnopsikologi sebuah ilmu cabang dari antropologi yang mempelajari kepribadian suatu bangsa, peranan individunya dalam perubahan adat istiadat dan nilai-nilai.
Strategi Kelestarian Kebudayaan di Kancah Digital.
Pertama, perlu adanya integrasi kelompok. Sebagai negara yang multikulturalisme, yang menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika sejak zaman negara ini menjadi kepompong. Nilai ini merupakan sebuah produk dari keuletan para cendekiawan perintis bangsa. Sebuah rangkaian kata yang representatif wajah dari ujung barat hingga timur. Nilai Bhineka Tungal Ika, jangan hanya terpantik ketika ada Imperialisme Kebudayaan. Namun, pemahaman nilai ini mari kita laksanakan dengan sikap solidaritas konstruktif dalam strategi kebudayaan. Gerakan solidaritas ruang digital bukan hanya ketika budaya kita diklaim pihak luar, tapi juga mendukung dan menyanjung sebuah budaya lewat komentar apresiatif, menyukai postingan, hingga membagikan unggahan.
Kedua, perlu adanya inkubasi bagi konten kreator pegiat budaya oleh pemerintah setempat. Menurut pasal 32 UUD 1945 "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya." Upaya seperti ini dapat diwujudkan dengan kegiatan pemaparan materi algoritma dan keyword yang sedang naik pengindeksan, pelatihan pengambilan video, hingga pemberian fasilitas penunjang perekaman oleh dinas setempat. Output yang diharapkan dari adanya dukungan ini adalah terpacu dan melajunya regenerasi dari pegiat budaya para sesepuh dengan pemuda yang ikut andil dalam proses digitalisasi budaya.
Beberapa hal yang harus kita catat adalah Homo Digitalis merupakan pelaku budaya aktif dari tingkat individu hingga kelompok. Sedangkan, pemerintah lebih berperan sebagai pendamping masyarakat. Negara bersama masyarakat saling mengupayakan pemajuan budaya, dari tingkat lokal hingga nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H