Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seandainya ada “Tuhan” di Bokong

12 Juli 2015   13:02 Diperbarui: 12 Juli 2015   13:02 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maaf saja kalau judulnya agak provokatif. Tapi saya pikir, tulisan ini cocok dijuduli seperti itu.

Semua diawali dari rasa risih setiap kali melihat berita di media massa tentang kemunculan simbol-simbol agama di benda atau tempat tertentu. Pasti banyak yang sudah dengar tentang lafadz Allah dan Muhammad yang tergambar di kulit buah, di badan sapi, tergurat di pohon dan sebagainya. Wujud Yesus Kristus pun pernah dikabarkan tercetak di langit, di lereng bukit sampai di botol kaleng cat bekas. Ada juga fenomena “cahaya Buddha” di awan Jiang Xin, Tiongkok.

Mungkin masih banyak lagi fenomena kemunculan simbol-simbol agama di benda-benda atau lokasi familiar yang kemudian menghebohkan publik.

Tapi yang paling aneh lagi, ada beberapa program televisi yang kemudian membuat kejadian tersebut sebagai “jualan” dan berulang-ulang kali menayangkan  fenomena seperti itu sambil membumbuinya dengan kalimat bombastis; “ini adalah bukti kehadiran Tuhan X” atau “Tuhan X sedang memperingatkan kita tentang kekuasaan-Nya.”

Pemuka agama pun dimintai pendapat dan lucunya ikutan melabeli fenomena tersebut sebagai keajaiban Tuhan sambil menyebut dalil-dalil agamanya sebagai validasi. Artis-artis juga latah takjub dan dengan takzim menyebut itu jadi bukti kebesaran Tuhannya. Belum lagi netizen di sosial media yang begitu gempitanya menyebar foto-foto simbol agamanya yang terpola di ikan mas, di daun telinga, dan “di-di” lain yang jumlahnya tak terhingga.

Lah, kalau misalnya lambang agamanya “mampu” tercetak di badan sapi atau kaleng cat bekas sama dengan pertanda bukti kehebatan Tuhan yang dia sembah, bagaimana pula dengan simbol-simbol agama lain yang juga mengikuti tren menempel sembarangan di benda-benda? Apakah mereka juga mengakui kebesaran dan kehebatan Tuhan-Tuhan yang lain?

Begitu banyaknya logo atau simbol ketuhanan yang dianggap terbentuk di benda-benda remeh seakan-akan para Tuhan sedang bersaing memamerkan ke-Maha-an-Nya di hadapan para umat yang nampaknya butuh sapi dan kaleng cat bekas untuk bisa beriman.

Seandainya lambang keagamaan itu muncul di bokong, di kotoran atau tercecer di tempat sampah, apakah mereka tetap mau berfoto dengan itu dan kemudian menampilkannya berulangkali di teve-teve sambil meminta ulasan ulama atau menyebar ke sosial media dengan ucapan “Tuhanku Maha Besar”?

Pasti tidak! Bahkan seandainya simbol-simbol agama itu tercetak di tempat tak elok dan ada yang menyebarkan, mereka pasti langsung mengamuk dan menyebut itu sebagai tindakan penistaan atau penghinaan agama—padahal apa bedanya logo agama yang tercetak di kulit buah dengan yang terbentuk di kotoran? Bukankah sama-sama sudah seperti itu adanya tanpa campur tangan manusia? Malah jadi konyol, seakan-akan yang namanya “keajaiban Tuhan” itu adalah hasil seleksi manusia, tak lebih dari sekadar pilihan antara yang bagus yang pantas dipublikasi dan yang jelek yang mesti ditutup-tutupi dan dianggap tak ada.

Seandainya simbol agama mereka secara kebetulan tercetak di bokong, di kotoran atau tercecer di tumpukan sampah, apakah iman mereka lantas runtuh dan lalu hilang?

Hingga akhirnya muncul pertanyaan penting, siapakah yang sebenarnya mereka imani?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun