Menanggapi masifnya berita eksekusi mati 8 distributor narkoba yang terjadi semalam, seorang netizen pengguna Facebook sempat berkomentar ketus, “jangan salahkan sendok kalau kamu jadi gemuk.” Kalimat analoginya itu punya arti yang sederhana. Masyarakat kebanyakan hanya terfokus menyalahkan pengedar narkoba alih-alih menyadari hal inti yang sebenarnya lebih penting.
Dalam adegan ending film based on true story, Wolf of Wallstreet, si tokoh utama, Jordan Belfort, melakukan sebuah tes marketing sederhana pada para audiens yang menghadiri seminarnya. Ia mengeluarkan sebuah pena biasa sambil berkata “jual padaku pena ini”. Semua hadirin yang ia minta menjual pena itu melulu menawarkan keunggulan dan kehebatan si pena. Hasilnya sama, mereka gagal menyenangkan hati Belfort yang memosisikan diri sebagai konsumen dan akhirnya pena pun gagal terjual. Tes “sell me this pen” punya kunci jawaban yang sederhana. Jangan cuma terpaku pada benda yang dijual, namun beralihlah ke pembeli. Ciptakan kebutuhan, maka pembeli otomatis membanjiri. Di mana ada kebutuhan, di situ ada uang.
Hal yang sama saya rasa juga terjadi pada pola penyebaran narkoba. Selama kebutuhan akan narkoba tetap terjaga tinggi, selama pembeli tetap saja mencari, narkoba akan selalu punya cara untuk masuk dan berkembang biak di Indonesia. Bandar narkoba tak sepenuhnya salah. Mereka menjual karena permintaan berjejal.
Peran pemerintah lagi-lagi dituntut di sini. Jika memang kebutuhan akan narkoba keterlaluan tinggi, hukuman mati tak akan pernah cukup menyudahi. Sosialisasi nampaknya bisa jadi kunci. Mengenalkan betapa durjananya narkoba sejak usia dini bisa sama vitalnya dengan memberi hukuman mati bagi para pengedarnya.
Namun pengalaman pribadi saya soal sosialisasi anti narkoba tidaklah mengenakkan. Dua kali saya mendapat penyuluhan soal bahaya NAPZA, dua kali pula saya dimintai bayaran.
Kejadian pertama ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya tak ingat pasti kronologis waktunya, tapi seorang yang mengaku penyuluh datang ke sekolah untuk membagikan sebuah buku yang berisi infomasi detail mengenai jenis-jenis narkoba dan dampaknya terhadap si pengguna. Namun untuk mendapatkan buku itu, setiap siswa diwajibkan membayar sekian rupiah. Waktu itu jumlahnya memang tak banyak, hanya beberapa ribu saja, tapi untuk ukuran anak SD yang uang sakunya terbatas, saya jelas tak sanggup membayar. Setelah mengadu ke guru, saya diijinkan memiliki buku tipis tersebut tapi dengan syarat saya mesti memberitahukan ke orang tua agar mau melunasinya esok.
Ketika SMA, saya kembali mendapat kesempatan mengikuti proses sosialisasi bahaya narkoba di sekolah. Sosialisasi kali ini diselenggarakan sebuah lembaga bernama Brantas (Badan Rakyat Anti Narkoba dan Tawuran). Penyuluhnya sendiri berasal dari pihak kepolisian. Walau isinya agak klise dan normatif, si penyuluh coba menjelaskan bermacam bahaya dan ancaman pidana akibat kepemilikan narkoba. Ia mengajak seisi ruangan menjauhi narkoba, atau kalau tidak akan berakhir di dua tempat: penjara atau rumah jenazah.
Selain mengajak para siswa untuk tak menggunakan narkoba, ia juga mengajak saya dan teman-teman mencetak piagam dan kartu “relawan anti narkoba”. Dengan kartu itu, si penyuluh mengklaim, pemiliknya dapat terhindar dari razia narkoba—tentunya jika memang si pemegang kartu terbukti tak menggunakan atau memiliki narkotika. Untuk mencetak piagam dan kartu yang tampilannya mirip KTP tersebut, ternyata tak gratis. Setiap siswa mesti membayar mahar puluhan ribu. Karena penyuluh berhasil meyakinkan setiap orang di dalam kelas tentang pentingnya memiliki piagam dan kartu relawan itu, nyaris semua siswa setuju membayar, termasuk saya, yang saat itu hanya bisa mencicil karena lembaran uang jajan di kantung lagi-lagi jumlahnya tak mencukupi.
[caption id="attachment_380802" align="aligncenter" width="420" caption="Kartu relawan anti narkoba "]
Saya tak tahu apakah dua kejadian di atas terjadi di daerah lain atau hanya kebetulan sial saya semata, tapi sungguh ironis kalau untuk mengetahui bahaya narkoba, seseorang mesti dikenai tarif, apalagi jika pesertanya hanyalah para pelajar yang rata-rata belum punya penghasilan dan cuma mengandalkan uang saku dari orangtua.
Data berbicara, Indonesia mengalami kerugian hingga 48 triliun rupiah akibat peredaran narkoba di nusantara. Salah satu kerugian terbesar adalah pengeluaran negara untuk membiayai pengobatan dan rehabilitasi para pecandu narkoba. Itu pun tak semuanya karena tercatat hanya sekitar 18.000 pengguna narkoba saja yang beruntung mendapat perawatan di 10 panti rehabilitasi milik pemerintah dan 90 panti lainnya yang didirikan pihak swasta. Jutaan sisanya mesti berjuang sembuh sendiri, tetap terjerat dalam kecanduan atau malah berakhir tragis karena kematian.
Di kota Medan tempat saya tinggal, anggaran untuk pemberantasan narkoba yang dimiliki pemerintah kota ditaksir mencapai tiga ratus juta rupiah. Namun menurut sejumlah anggota DPRD Medan, anggaran berjumlah lumayan itu habis sia-sia dan tak membuahkan hasil yang memuaskan. Dibuktikan dengan masih maraknya tindak kriminal peredaran narkoba di kota berpenduduk 2 juta jiwa ini.
"Seharusnya kalau memang sudah dianggarkan ya harus dijalankan, ini menunjukkan Kesbanglinmas Pemko Medan tidak bekerja secara maksimal, karenanya diminta kepada Walikota Medan untuk lebih menguatkan aparatur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di Pemko Medan, agar program yang sudah dianggarkan tersebut benar-benar dapat dijalankan," kata Anggota DPRD Medan, Rajudin Sagala, seperti dikutip medanbagus.com.
Kalau pemerintah serius dalam memberantas narkoba dengan alasan benda itu merusak generasi bangsa dan merugikan negara, seharusnya komitmen diawali bukan cuma dengan giat mengadili pengedarnya saja, tapi dibutuhkan keseriusan untuk mencegah mereka-mereka yang berpotensi jadi calon pembeli. Lakukan sosialisasi lebih gencar dan berkualitas, bukan hanya ala kadarnya untuk menghabiskan anggaran saja. Jika perlu, buat sesi khusus di tiap sekolah yang total membahas bahaya narkoba secara konsisten dan berkelanjutan. Jangan sekadar diselipkan di mata pelajaran umum atau disosialisasikan musiman tanpa jadwal yang jelas, apalagi jika para peserta penyuluhan mesti merogoh kocek untuk tahu kalau narkoba itu berbahaya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H