Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

(Preview) Naruto the Last Movie: Klimaks yang Antiklimaks

1 Mei 2015   12:32 Diperbarui: 18 Februari 2016   00:20 2060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14304578521809826310

 

 

 

[caption id="attachment_381141" align="aligncenter" width="490" caption="The Lat: Naruto the Movie, mengecewakan fans (sumber: www.shonengamez.com)"][/caption]

Sungguh, tak akan pernah cukup 2 jam untuk merangkum keseluruhan isi cerita Naruto. Segala kompleksitas tentang kehidupan dan karakter anime ciptaan Masashi Kishimoto ini terlalu “mewah” kalau cuma dibungkus dalam kisah singkat yang mirisnya dijuduli “the last movie”.

Sebelumnya saya sudah sangat menanti-nanti rilis film yang satu ini. Saya pasti tak sendiri, mengingat banyak bioskop Indonesia yang tak mau memutarkan film yang di negara asalnya, Jepang, tayang Desember 2014 lalu itu. Menanti kemunculannya melebihi Fast and Furious 7 dan Avengers: Age of Ultron, tentu bisa dibayangkan, setaksabar apa saya menunggu kemunculan anime yang versi komiknya baru saja tamat itu. Bahkan cibir dan kritik dalam preview penonton di beberapa forum Jepang dan luar negeri yang menggolongkan “The Last: Naruto the Movie” sebagai film “gagal”, tak mengurungkan niat saya yang sudah terlanjur besar.

Nah, penantian berbulan-bulan akhirnya terbayar. Kemarin, salah satu situs penyedia konten anime memublis link download The Last: Naruto the Movie versi kualitas bagus, bukan tipe comot sembunyi-sembunyi “cam video” yang sudah lebih dulu beredar di beberapa situs torrent.

Biarpun dubber-nya masih versi Korea, tanpa banyak tanya saya langsung saja mengunduh file yang ukurannya lumayan besar itu.

Film pun dimulai. Seperti yang sudah diramalkan dalam privew netizen asing di forum diskusi penikmat Naruto, film The Last: Naruto the Movie menyuguhkan tampang baru para karakter. Mulai dari pakaian, pangkasan rambut, hingga jutsu (jurus) yang belum pernah ditampakkan. Yang paling mencolok tentu si tokoh utama, Uzumaki Naruto, yang muncul dengan rambut yang dipangkas pendek dan pakaian yang sedikit lebih modis dibanding masa Shippuden. Naruto yang berumur 18 tahun pun nampaknya sudah jadi ninja populer yang digilai banyak wanita di desa Konoha, berbanding terbalik dengan kisah masa kecilnya yang kelam karena penuh dengan penolakan dan mesti menjalani hidup dalam cekaman rasa sepi. Impian Naruto untuk diakui oleh semua orang berakhir manis di film ini.

Inti cerita film Naruto ketujuh berkisah tentang rencana Toneri, anggota terakhir klan Ōtsutsuki (yang merupakan klan tertua dan dianggap setingkat di atas manusia) yang ingin menghancurkan bumi. Ia beralasan, keinginannya itu didasari Wasiat Suci terakhir Ōtsutsuki Hamura yang adalah pendiri ninja di bulan dan salah satu manusia pertama yang memiliki cakra (energi dasar jurus ninja). Wasiat Suci itu berisi keinginan Hamura untuk menghancurkan ninja bumi yang didirikan oleh kakanya, Ōtsutsuki Hagamoro, sang Rikudo Sennin. Ninja bumi dianggap penuh dengan kegagalan. Perang sesama ninja terus menerus berlangsung akibat penggunaan cakra yang keliru. Cakra yang awalnya ditujukan untuk menjaga perdamaian, malah dijadikan senjata  pembunuh massal. Toneri mengatakan, klan Ōtsutsuki yang mendiami bulan semakin kecewa dengan ninja bumi yang mencuri Gedo Mazo, cangkang bijuu yang disimpan di bulan, yang akhirnya membangkitkan mahluk ganas bernama Juubi di bumi dan ditakutkan akan mengancam kedamaian dunia. Untuk memuluskan rencananya itu, Toneri membutuhkan mata “murni” byakugan yang merupakan jutsu mata khusus milik klan Hyuga. Jika dicampurkan dengan cakra Toneri, maka mata byakugan akan membangkitkan kekuatan mata baru bernama “tenseigan”. Mata ini bisa dengan mudah menghancurkan bumi. Debu sisa kehancuran bumi akan ia gunakan untuk menciptakan sebuah dunia baru yang bebas dari perang.

Di situlah petualangan Naruto dimulai. Bersama Sakura, Sai, Shikamaru dan Hinata, ia ditugaskan oleh Hokage keenam, Hatake Kakashi (!), untuk membebaskan Hyuga Hanabi, adik kandung Hinata, yang diculik pasukan boneka Toneri.

Kekecewaan pertama langsung muncul saat mendapati adegan awal. Scene ingatan masa lalu Hinata menyaksikan Naruto digebuki untuk melindunginya dari gangguan anak-anak nakal mengalami perubahan total di film ini. Jika di versi serial kartun lokasi kejadian awal mula pertemuan Hinata dan Naruto itu ada dalam hutan pada sebuah hari yang cerah, dalam film The Last: Naruto the Movie, latarnya berganti jadi sebuah jalan di saat musim salju. Adegannya pun banyak yang tak sama. Saya akhirnya sadar kalau perubahan adegan itu kelihatannya dibuat demi mengakomodasi masuknya kisah “syal cinta” yang akan menjadi salah satu bumbu utama film ini.

Hanya saja rasanya tak etis jika “kemurnian” cerita Naruto mesti dinodai dengan inkonsistensi isi antara film dan serial kartun.

Kekecewaan lainnya diakibatkan ketidakmampuan film ini mewakili seluruh karakter. Jangan terkejut kalau salah satu karakter utama, Uchiha Itachi, nyaris tak mendapat porsi tampil yang layak. Ia hanya sesekali diperlihatkan, itu pun dengan gambaran yang misterius. Setengah-setengah. Kemunculan terbaiknya hanya berlangsung kurang dari satu menit, saat ninja terakhir klan Uchiha itu mengeluarkan jutsu andalan, chidori, untuk menggagalkan pecahan meteor menghantam desa Konoha yang  tak mampu dihalau oleh “Formasi Sayap Bangau” yang dipimpin Rock Lee.

Praktis hanya beberapa tokoh saja yang sempat menampilkan jurus andalan dengan jatah yang singkat dan kurang menghentak.

Secara keseluruhan, film ini juga kurang mampu menyuguhkan jalan cerita yang bertenaga. Sering muncul dialog klise dan adegan yang terlalu mudah ditebak.

The Last: Naruto the Movie mungkin berhasil mengisahkan drama romansa yang tersibak di antara Naruto dan Hinata—namun hanya sebatas itu. Film ini seakan-akan menjadikan kisah asmara Naru-Hina sebagai fokus masalah, sedangkan misi penghancuran bumi yang dirancang oleh Toneri—yang merupakan inti cerita—malah cuma seperti pelengkap semata.

Jujur saja, ada rasa tak ikhlas kalau film The Last: Naruto the Movie dijadikan sajian penutup dari perjalanan panjang anime yang dimulai tahun 1997 itu. Film ini lebih layak diberi judul: “The Last Love Story: Naruto-Hinata” karena kisah yang diangkat memang didominasi percintaan keduanya.

Satu lagi yang penting untuk diketahui. Sempat ada isu yang mengatakan The Last: Naruto the Movie akan menampilkan kisah Naruto setelah menjabat Hokage ketujuh. Namun dalam film ini, Naruto belumlah menjadi seorang Hokage seperti yang ditampilkan dalam komik episode 700. Sampai ending cerita, Kakashi tetap memegang gelar Hokage keenam walau Naruto dan Hinata sudah menikah dan memiliki dua anak, Uzumaki Boruto dan Uzumaki Himawari.

Akhirnya, walaupun The Last: Naruto the Movie dipenuhi dengan kekurangan dan rasa kecewa fans, Masashi Kishimoto masih memberi sedikit harapan. Ada kabar yang beredar, anak sulung Naruto, Uzumaki Boruto, akan menyambung kisah epik sang ayah dalam serial anime baru berjudul “Bolt”.

Layak ditunggu, karena kisah Naruto memang tak layak diakhiri dengan cara yang “biasa-biasa” seperti dalam film ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun