Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perlu Ratusan Juta untuk Jadi Aparat?

24 April 2015   21:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14298852511572382600

Ini kisah pilu yang dialami guru SD saya. Sebut saja namanya Ibu Purna.

Ibu Purna punya seorang anak lajang yang memiliki keinginan besar jadi tentara, kita panggil saja namanya Gagah. Kebanggaan dan jaminan masa depan jadi alasan Gagah ingin berprofesi sebagai prajurit berseragam. Ibu Purna dan suaminya pun sepakat membantu si anak mewujudkan cita-cita mulianya. Setelah melengkapi seluruh berkas dan mengikuti ujian yang melelahkan, ternyata hasilnya berakhir sedih, anaknya dinyatakan tak lolos seleksi.

Ibu Purna tak menyerah, pada kesempatan berikutnya, ia kembali mengajukan lamaran agar anaknya jadi peserta ujian masuk tentara. Hanya saja di kesempatan kedua mengikutkan anaknya seleksi tentara, Ibu Purna dapat godaan. Ada seorang oknum yang menawarkan “pintu masuk alternatif” bagi mereka. Ia berjanji akan menjadi “backing” bagi Gagah agar mampu lolos dari seluruh tahapan ujian. Tarifnya? Cuma 1 juta rupiah. Ternyata Ibu Purna, guru favorit ketika saya masih SD itu, tak mau menggadaikan idealismenya. Ia menolak mentah-mentah menggunakan uang pelicin. Mungkin Ibu Purna tak mau anaknya meraih cita-cita dengan cara ‘membeli’. Lolos murni adalah satu-satunya jalan yang ia ingini.

Namun idealisme si Ibu nyatanya tak cukup membantu Gagah. Lagi-lagi, Gagah keluar dari ruang seleksi dengan kepala tertunduk. Namanya tak tercantum di daftar yang lolos untuk kedua kalinya.

Waktu pun berlalu, dua kali jatuh ternyata tak membuat Gagah tersungkur malu. Semangatnya menenteng senjata tidak hilang walau dihantam double kegagalan. Ibu Purna pun tak tega melihat semangat anaknya berkobar tanpa pelampiasan. Ia lalu berembuk serius dengan suami, kali ini dengan topik yang sedikit berbeda. Mereka berjanji akan membantu Gagah jadi tentara dengan cara apa pun—termasuk menggadaikan idealisme “lolos murni” yang pernah bertahan dua kali dari godaan gratifikasi.

Mereka kemudian mencari informasi tentang oknum aparat yang bisa memberi ‘celah rahasia’ masuk tentara.

Setelah ketemu, Ibu Purna langsung menghubungi. Ia lalu bicara panjang lebar, mencurahkan unek-unek masa lalu tentang kegagalan anak sulungnya masuk tentara. Mungkin karena bosan, si oknum aparat menyudahi basa-basi. Ia langsung saja pasang tarif.

“Berapa Pak?” tanya Ibu Purna berharap. Ia ingat pernah diminta bayaran satu juta rupiah oleh seseorang untuk meloloskan Gagah.

Sepuluh juta pun tak apa, asal Gagah lolos,” batin Ibu Purna pasrah.

Oknum aparat lalu membisikkan angka. Seratus sepuluh juta rupiah. Rp 110.000.000,-.

Ibu Purna tersedak telak. Telinganya ternyata tak siap sedia mendengarkan nominal yang dipatok oknum aparat itu. Jelas tak ada tawar-menawar harga karena ini tentang profesi prestisius, bukan sayur-mayur atau sekadar bumbu dapur. Ibu Purna menurut saja walau tentu pikirannya kalut. Ia dan suaminya memang bekerja sebagai pegawai negeri, tapi mengumpulkan rupiah dengan nol sebanyak itu bukan perkara mudah. Namun karena si oknum aparat gigih meyakinkan dan berjanji akan memberi jasa yang memuaskan, ia dan suami sukses percaya. Ibu Purna akhirnya rela menebus cita-cita anaknya bermodal setumpuk besar rupiah.

Sesudah urusan pembayaran tuntas, Gagah turun ke medan ujian dengan perkasa. Percaya diri, karena kali ini ia punya senjata dahsyat yang diyakini akan mencegahnya dari kegagalan lagi. Senjata itu bernama uang dan koneksi.

Seleksi tentara kali ini berlangsung beberapa saat yang lalu di sebuah daerah di Sumatera Utara.

Tahap ujian satu persatu ia lewati. Dan benar saja, ia tak menemukan masalah berarti. Ujian yang terkenal sulit, ia kangkangi tanpa kendala.

Akhirnya ia tiba di sesi uji fisik. Pada tahap ini, Gagah diminta melakukan pull up, sebuah gerak fisik yang ditujukan untuk mengukur kekuatan otot-otot lengan dan bahu. Sulit, karena berat tubuh total bertumpu pada tangan. Entah karena prosedur gerak yang salah atau tubuhnya sudah kelelahan, terjadi sebuah insiden di sesi pull up-nya Gagah. Ia cedera, bahunya terkilir.

Akibat insiden itu, Gagah dinyatakan gagal memenuhi syarat kelulusan. Untuk ketiga kalinya, langkah Gagah terhenti.

Ibu Purna terkejut bukan main. “Apa-apaan ini?!” pekik Ibu Purna tak percaya. Langsung saja ia hubungi oknum yang mengaku mampu meloloskan anaknya dengan mahar 110 juta.

Si oknum aparat mengaku terkejut akan kegagalan Gagah. Ia meminta maaf dan berjanji akan mencoba memberi bantuan lagi. Tapi, oknum aparat itu minta biaya tambahan. Uang 110 juta yang diterima katanya tak cukup. Dana tambahannya pun tak kecil, 20 juta rupiah jumlahnya.

Merasa kepalang tanggung, Ibu Purna menurut saja. Ia berikan dana yang diminta oknum aparat yang kembali berhasil meyakinkan Ibu dua anak itu.

Tapi lagi-lagi, pintu masuk tentara tetap saja tak mau terbuka bagi Gagah. Ia gagal masuk bahkan dengan bantuan 130 juta.

Ibu Purna berang. Ia merasa ditipu mentah-mentah. “Kembalikan uang kami,” geram Ibu Purna. Si oknum menanggapi dengan santai dan menawarkan sebuah solusi. 20 juta yang diberikan akan dikembalikan setengahnya saja.. supaya sama-sama enak, katanya.

Emosi Ibu Purna makin menjadi. Memberikan uang ratusan juta kepada seseorang secara cuma-cuma sama sekali tak ada dalam daftar mimpi terliarnya.

“Kembalikan semua uang itu atau aku laporkan kau. Saya punya saudara di Kodam. Kalau kau ingin perpanjang masalah ini, saya siap!”

Si oknum aparat nampaknya keder. Ancaman Ibu Purna berhasil menciutkan nyalinya. Ia berjanji akan mengembalikan total 20 juta yang Ibu Purna setorkan, namun uang 110 juta di pembayaran pertama hanya bisa ia kembalikan tak sampai setengah, hanya 40 juta, karena sudah terpakai untuk urusan “ini-itu” saat proses pelolosan Gagah yang gagal. Perdebatan panas penuh emosi berakhir dengan kesepakatan: uang masuk tentara sebesar Rp 130.000.000 hanya dikembalikan 60 juta ke tangan Ibu Purna yang kecewa.

Kisah di atas diceritakan Ibu Purna sore tadi. Dengan wajah lesu, ia jabarkan dengan detail kejadian yang membuatnya terpukul itu. Bukan apa-apa, uang ratusan juta yang ia anggarkan tak semua berasal dari kantung sendiri. Beberapa ia pinjam dari saudara dan tetangga dan tentunya punya tempo pengembalian.

Tapi lucunya, wanita bertubuh tambun ini gagal kapok. Ia masih saja menanyakan keberadaan oknum aparat yang bisa menggaransi anaknya jadi seorang tentara. Ajaib!

Secara pribadi bukan kali ini saja saya mendengar tentang adanya syarat uang pelicin untuk mendapat gaji dari profesi sebagai aparat keamanan, entah tentara atau polisi. Salah satu teman saya bahkan berhasil menjadi anggota satuan Dalmas di daerah Sumatera Utara dengan menganggarkan ratusan juta rupiah sebagai tumbal setelah berulang-ulang kali gagal lewat jalan legal. Kenalan saya yang lain malah diduga lolos mudah karena ada orang tuanya yang menjabat di Polda.

Tapi tak semua berakhir bahagia. Banyak kisah yang berujung duka seperti Ibu Purna. Berikat-ikat uang rupiah nominal raksasa mesti lenyap tanpa hasil yang diharap. Ibu Purna masih untung karenaada remah-remah uangnya yang tersisa dan dikembalikan oknum aparat yang mengaku “malaikat”. Sebab, yang saya sering kali dengar, rata-rata uang yang sudah diberi tak pernah bisa kembali lagi.

Saya yakin, saya tak sendiri. Pembaca mungkin pernah mendengar (atau bahkan jadi salah satu korban) praktik gratifikasi untuk meloloskan seorang pelamar dalam ujian masuk satuan prajurit TNI atau aparat polisi. Bahkan ada isu yang berhembus kalau hanya ada dua syarat untuk bisa jadi seorang tentara atau polisi; uang dan koneksi. Mereka yang lolos murni ditenggarai hanya sebagai “penghias”.. jenis langka yang jumlahnya selalu mini setiap tahunnya.

Jika memang benar praktik sogok-menyogok sudah lestari dan dirawat dalam seleksi masuk lembaga pertahanan negara, maka akan tercipta sebuah lingkaran setan.

Dengan modal masuk yang tak kecil, si aparat akan “balas dendam” dan kejar setoran demi menutupi dana besar yang telah dihabiskan. Caranya? Bisa dengan wajar, bisa pula dengan cara kurang ajar. Korupsi dan terlibat aksi ilegal bisa jadi jalan keluar.

Bukan cuma itu, jika penerimaan aparat didasarkan pada nepotisme atau hubungan kekerabatan, maka institusi terhormat yang bertugas melindungi warga negara itu akan berakhir sebagai sebuah dinasti yang diturun-temurunkan oleh hanya segelintir orang.

Tragis, bukan?

[caption id="attachment_380009" align="aligncenter" width="456" caption="Seleksi aparat rawan pungli. (sumber:antarabanten.com)"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun