Ketika pertama kali menjejakkan kaki di taman makam pahlawan ini, saya langsung berucap, “aku juga ingin dikuburkan di sini.”
Setelah puluhan tahun menetap di kota Medan, inilah saat perdana saya mendapat kesempatan mengunjungi lokasi peristirahatan terakhir para manusia yang telah menukarkan nyawanya demi tugas bangsa. Tempat ini diberi nama “Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan”.
Sebenarnya, sulit memasuki lokasi ini. Hampir setiap hari gerbang makam para pejuang itu tertutup rapat untuk dikunjungi.
Entah apa alasannya. Padahal makam para pahlawan adalah aset bangsa yang boleh disaksikan dan dikunjungi oleh siapa saja. Tapi mungkin itu adalah reaksi pengelola terhadap banyaknya 'alih fungsi' taman makam pahlawan yang sering digunakan muda-mudi untuk bermesum ria atau lokasi buang air alternatif supir-supir becak.
Tapi, saya beruntung hari ini. Gerbang masuk utama ternyata terbuka. Bersama seorang teman, saya beranikan diri memasuki tempat yang diresmikan tanggal 1 Agustus 1995 oleh Ibu Tien Soeharto itu.
Sepi, nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan yang bisa dikenali. Padahal, makam pahlawan itu terletak tepat di pinggir jalan raya. Seakan-akan riuh keributan jalanan terserap dan hanya menyisakan senyap.
Setelah beberapa kali kaki ini saya langkahkan, kami dikejutkan seorang pria yang muncul tiba-tiba dari balik pohon kamboja. Bukan sosok menyeramkan, hanya lelaki muda.
“Bang, makamnya dibuka kan?” teman saya refleks bertanya. “Iya Kak, dibuka. Masuk saja,” ia menjawab sambil berlalu. Kekhawatiran kalau kami masuk tanpa izin langsung hilang.
Sejuk dan sunyi. Itulah kesan awal yang kami rasakan setelah masuk lebih dalam. Lokasinya ditumbuhi banyak pohon yang jenisnya entah apa. Di tengah lokasi terbentang lapangan berlapis keramik yang lumayan luas. Cukup untuk disesaki ratusan peserta baris berbaris di momen-momen tertentu.
[caption id="attachment_373015" align="aligncenter" width="490" caption="Lapangan Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan"][/caption]
Tepat di ujung lapangan ada altar yang di atasnya berdiri kokoh sebuah tugu yang melekat burung garuda raksasa di bagian tengahnya.
[caption id="attachment_373016" align="aligncenter" width="300" caption="Tugu Garuda"]
Makam dipisahkan berdasarkan agama si pahlawan. Di sisi kiri jadi tempat pahlawan muslim, sedangkan yang kanan terbaring jasad pejuang Kristen dan agama yang lain. Jumlah makam yang sebanding antara sisi kiri dan kanan menjadi bukti jika sejak lama Indonesia telah disatukan dalam perjuangan yang sama tanpa pandang identitas. Mengharukan!
[caption id="attachment_373021" align="aligncenter" width="300" caption="Makam di sisi kiri"]
Kami lalu melihat satu persatu makam yang cukup terawat dengan baik, walau di beberapa tempat tercium pesing yang menyengat.
Ada replika helm yang dibaringkan di setiap nisan pejuang yang gugur di medan perang.
Di hampir seluruh nisan tertulis nama, tanggal lahir, pangkat, satuan, tanggal, dan tempat gugurnya si prajurit.
[caption id="attachment_373023" align="aligncenter" width="300" caption="Seorang pahlawan bernama Ridwan Siregar. Gugur di Tim-tim, tahun 77."]
Tapi yang menyedihkan, ada beberapa makam yang di batu nisannya diguratkan kata “tak dikenal”. Mereka adalah pahlawan yang identitasnya gagal diidentifikasi dan dikubur tanpa tanda pengenal.
Ironis memang, ketika seseorang berjuang untuk sesuatu dan berani mati demi itu, namun ia hanya berakhir sebagai jasad yang tak bernama. Terlupa dan tak ada satu pun dari anak cucunya yang akan bercerita dengan bangga tentang perjuangannya melawan penjajah. Makamnya terbaring sepi tanpa pernah diziarahi sanak-saudara.
Tapi, apakah para pahlawan tak dikenal ini mengharapkan balas dan jasa dari totalitas pengorbanannya?
Jika mati pun ia mau, mungkin, terbaring tanpa nyawa dan terlupakan selama-lamanya bukanlah apa-apa baginya.
Ah, hari ini saya benar-benar merasakan hormat saat bertatap hadap dengan jasad pejuang tanpa nama. Akan sangat berbeda kesan yang saya dapat dengan mengunjungi langsung para pelaku daripada sekadar membaca buku-buku sejarah atau menonton film propaganda.
Lewat kesunyian sore ini, mereka bercerita banyak tentang sebuah kisah heroik dengan mereka sebagai tokoh utamanya. Tentang pengorbanan, kehilangan, kematian, dan terlupakan.
Cukup lama saya merenungi salah satu saksi ketulusan terbesar manusia yang pernah ada. Saya sempat bertanya dalam hati, “mampukah aku meniru dan lakukan hal yang serupa?”
[caption id="attachment_373024" align="aligncenter" width="300" caption="Tak Dikenal, seorang pahlawan yang gugur tahun 1946 dan terbaring terlupakan ."]
Kami hampir beranjak pulang ketika dari jauh terlihat gerbang masuk makam sudah dipadati orang-orang berseragam TNI lengkap dengan senjata laras panjang. Sempat muncul rasa khawatir lagi kalau-kalau kami datang di saat yang keliru.
Dengan buru-buru, kami putuskan melangkah keluar. Tapi setelah mendekati kumpulan prajurit TNI yang bersiap untuk membentuk barisan, saya akhirnya tahu, alasan kenapa hari ini gerbang makam khusus dibuka.
Ternyata, ada seorang pejabat militer yang akan menjadi penghuni di sini. Seorang pahlawan baru, akan dimakamkan hari ini.
Keren! Setelah mendapat kesempatan langka untuk memasuki lokasi yang sudah ditutup cukup lama, saya juga disuguhi pemandangan jarang berupa prosesi pemakaman pahlawan. Kami berdua lalu memutuskan tinggal lebih lama.
Peti mati diturunkan dari ‘kereta jenazah’ oleh beberapa tentara. Di gerbang, 6 prajurit berbaris rapi bersaf tiga-tiga, siap menyambut hormat jasad seorang pria yang telah usai membaktikan diri bagi negaranya.
Senjata yang mereka genggam di arahkan ke langit sore yang semakin kehilangan cahaya senja karena matahari mulai membenamkan diri di ujung barat.
Setelah aba-aba, letusan senjata menghentak keras. Salvo penghormatan sanggup mengejutkan pengguna jalan yang terjebak kemacetan di luar area pemakaman.
Peti mati perlahan memasuki gerbang bersama keluarga almarhum yang mengikuti dari belakang. Kami menyaksikan dengan kagum.
Sebuah kematian yang indah, pikir saya.
[caption id="attachment_373028" align="aligncenter" width="300" caption="Persiapan penghormatan terakhir pada seorang "penghuni" baru."]
***
Taman makam pahlawan bukanlah objek wisata yang populer. Memang tak banyak hiburan yang bisa diharapkan dari kumpulan kuburan dan tulang belulang dibanding keasyikan yang diberikan bianglala, kolam renang, bioskop atau bermacam hiburan canggih lainnya.
Dibutuhkan penghayatan yang lebih untuk bisa menikmati kunjungan ke sana.
Penghayatan, kalau di situ sedang terbaring orang-orang yang jadi fondasi berdirinya sebuah negara bernama Indonesia. Penghayatan, kalau perjuangan besar tak selalu jadi ingatan yang diceritakan berulang-ulang, namun bisa saja diakhiri dalam panjangnya sepi bagi mereka yang terlupakan.
Kita harus ingat kalau bianglala, kolam renang, bioskop atau bermacam hiburan canggih lainnya mungkin tak akan pernah ada tanpa darah dari mereka yang sudah tertumpah di medan juang.
Tentu menyakitkan jika tempat terhormat seperti ini cuma dijadikan lokasi nyaman untuk bermesum muda-mudi atau bahkan dikencingi—hingga akhirnya tertutup dari kita yang masih punya rasa bangga terhadap sejarah dan hormat kepada para tokoh yang pernah menciptakannya.
Makam yang sepi terasa semakin sunyi saja ketika upacara penguburan berakhir. Gerbang ditutup rapat dan entah kapan akan dibuka lagi.
Tapi, kepulangan kami dari taman makam pahlawan sore itu diakhiri dengan janji:
kami, pasti akan kembali.
(ReAdi, 02-03-2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H