[caption id="attachment_382205" align="aligncenter" width="620" caption="KontraS: Kekerasan yang dilakukan polisi bukan hal langka. (sumber: tempo.co)"][/caption]
Jika dilihat secara objektif—tanpa menduga-duga adanya motif kriminalisasi—kasus penganiayaan yang didakwakan pada penyidik KPK Novel Baswedan sungguh bukan hal yang luar biasa. Penganiayaan yang didalangi oleh polisi dalam pelaksanaan tugasnya sudah terjadi berulang-ulang bahkan setiap tahun grafiknya malas turun.
Kasus Novel Baswedan—kalau memang benar terjadi—memang memprihatinkan. Si pencuri sarang burung walet yang ganti posisi sebagai korban ketika diundang bersaksi di salah satu acara televisi swasta nasional tadi malam mengaku mendapat perlakuan brutal dari Iptu Novel dan bawahannya. Korban bercerita, sesaat setelah ketahuan mencomot sarang burung walet tanpa izin di Ruko Aliang, Jalan S Parman, Kota Bengkulu, dia dan 5 rekannya dipukul dengan rotan hingga batang kayu keras itu hancur jadi serabut. Pukulan broti juga mampir ke tubuhnya berulang-ulang kali, bahkan kelaminnya pun mesti mengalami trauma akibat disetrum listrik. “Sakitnya luar biasa. Sampai kami nyaris pingsan,” aku salah satu korban. Puncaknya, saat mereka yang sudah kehabisan daya, dengan hanya memakai pakaian dalam dan kondisi tangan diborgol, malah ditembak di bagian kaki. Setelah kejadian itu seorang di antaranya mesti mengalami cacat permanen dan ada juga yang sampai meninggal dunia.
Kasus itu sebenarnya sudah diselesaikan lewat jalur kekeluargaan, namun keluarga salah seorang korban ternyata membuka lagi luka lama dengan menggugat kembali perkara yang hampir kedaluwarsa. Hal tersebut yang membuat polisi juga kembali menyeriusi kasus yang terjadi 18 Februari 2004 atau 11 tahun yang lalu itu setelah sempat berulang kali tertunda.
Bicara soal "malapraktik" yang dilakukan pihak kepolisian terhadap warga sipil (entah itu tersangka atau warga yang salah tangkap) bukanlah hal langka di Indonesia. Data yang dilansir organisasi HAM KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) berbicara banyak.
Sejak 2010 hingga 2013, KontraS memonitor kinerja polisi dalam menjalankan tugas. Berbekal laporan masyarakat dan pantauan di media massa, KontraS merilis data yang cukup mengejutkan.
Sejak tahun 2005 hingga 2010, polisi tercatat melakukan 135 kali tindak kekerasan yang diduga KontraS menyalahi prosedur.
Rinciannya; 2005: 20 kasus, 2006: 13 kasus, 2007: 43 kasus, 2008: 23 kasus, 2009: 26 kasus, dan 2010: 10 kasus. Jumlah total ada 135 kasus.
Jika dispesifikkan, jenis kekerasan yang dilakukan polisi yang tak jarang memakan korban itu adalah:
1. Pemukulan/penganiayaan 40 kasus
2. Kekerasan berlebih dalam penanganan unjuk rasa 10 kasus
3. Penangkapan sewenang-wenang 61 kasus
4. Penyerangan terhadap warga 3 kasus
5. Pemerkosaan/Pelecehan seksual 5 kasus
6. Pembunuhan 6 kasus
7. Perampokan 4 kasus
8. Perkelahian 3 kasus
9. Pemerasan 2 kasus, dan,
10. Perbuatan tidak menyenangkan/berkata kasar 1 kasus.
Tahun 2011 hingga 2012, datanya semakin meningkat tajam. Dalam rentang waktu di dua tahun itu angka 228 kasus menjadi catatan hitam tindak tanduk kinerja kepolisian Indonesia. Rincian kekerasan yang dilakukan polisi berdasarkan jenis tindakan, yaitu;
1. Penembakan sebanyak 39 tindakan
2. Penyiksaan sebanyak 31 tindakan
3. Penganiayaan sebanyak 80 tindakan
4. Penangkapan 24 tindakan
5. Intimidasi 30 tindakan
6. Pemerasan 2 tindakan
7. Bentrokan 8 tindakan
8. Pembiaran 10 tindakan
9. Penjebakan 1 tindakan
10.Pengrusakan 2 tindakan
11.Pembubaran 1 tindakan.
Tahun 2013 malah kuantitasnya makin melipat ganda secara signifikan. Sepanjang bulan Januari hingga Desember 2013 telah terjadi 788 peristiwa kekerasan yang dilakukan aparat Kepolisian. Dari jumlah tersebut tercatat 4.926 masyarakat sipil yang jadi korban!
Data di atas mungkin saja bisa berjumlah lebih banyak. Koordinator KontraS, Haris Azhar, mengakui jika organisasinya belum mampu memantau secara maksimal tindak kekerasan yang dilakukan polisi terhadap warga sipil. Mungkin saja banyak yang tak berani melapor atau luput dari pemberitaan media.
Namun banyaknya jumlah pelanggaran prosedur kerja korps baju cokelat kelihatannya tidak mendapat perhatian serius dari institusi kepolisian.
"Banyak kasus kekerasan hanya berakhir di sidang kode etik dan tidak ditindaklanjuti. Seharusnya ketika ada bukti harus dilanjutkan ke proses hukum pidana," keluh Kepala Divisi Advokasi Sipil dan Politik KontraS, Putri Kanesia.
Hariz Azhar memberi saran agar Polri lebih membuka diri dan bekerja sama secara mutual dengan lembaga Hak Asasi Manusia untuk menambah lini pengawasan dan kontrol terhadap kinerja polisi. “Mengefektifkan dan membuka diri terhadap ruang kontrol pengawasan eksternal yang efektif yang bekerjasama dengan Kompolnas dan Komnas HAM. Polri juga harus membuka diri terhadap kontrol institusi demokratik yang merupakan representasi kepentingan publik dan membuka partisipasi masyarakat yang luas,” tukas Haris.
Melihat fakta dan data tersebut, tentu semangat equality before the law yang digaungkan Polri harus benar-benar ditegakkan dan semoga wajah serius kepolisian dalam menindaklanjuti kinerja buruk personilnya bukan hanya terhenti di Novel Baswedan.
Kalau tidak, kecurigaan publik terhadap motif kriminalisasi KPK di balik penangkapan Novel Baswedan (dan petinggi KPK yang lain) bisa jadi kebenaran yang tak terbantahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H