Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Buruh Bunuh Diri di GBK dan Sebuah Kematian yang “Teatrikal”

2 Mei 2015   14:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14305517521173961637

[caption id="attachment_381335" align="aligncenter" width="410" caption="Tubuh terbakar Sebastian Manufuti (sumber: www.indoberita.com)"][/caption]

Kabar mengejutkan (dan langka) terjadi sore kemarin (01/05/2015). Perayaan Hari Buruh Sedunia "MayDay" di stadiun Gelora Bung Karno, Jakarta, diwarnai tragedi kematian seorang buruh bernama Sebastian Manufuti yang diduga akibat bunuh diri. Buruh berusia 28 tahun ini dikabarkan melilit dirinya dengan kain hitam yang sudah lebih dahulu dibakar. Setelahnya, tubuh nahas itu terjun dari tribun penonton ke arah panggung.

Di atas panggung yang penuh gegap kemeriahan, band rock Triad yang bervokalis Ahmad Dhani sedang memainkan lagu “Kamulah Surgaku”.

Tubuh terlalap api milik Sebastian terjun bebas saat Dhani melantunkan lirik “..kamu, aku adalah penghuni surga. Ucapkan salam pada hidup dan mati”.

Ratusan ribu manusia yang sedang menikmati hentakan musik sambil gempita berteriak “Hidup buruh!” sontak tercekat telak saat sesosok tubuh hangus menghantam keras dan tergeletak hancur di dekat panggung.

Dhani yang melihat langsung kejadian 'gila' itu tak sanggup melanjutkan nyanyiannya.

Pecahan otak korban berceceran sampai mengenai drum dan cymbal2 saya,” kata pentolan Dewa 19 itu di laman jejaring sosialnya.

R.I.P jumper burning man,” kalimat penutup belasungkawa Dhani.

Polisi belum mengetahui motif di balik aksi nekat pria yang berdomisili di Bekasi tersebut. Namun proses kematiannya yang penuh dengan simbolisasi membuat saya menduga kejadian ini sudah direncanakan dengan matang dan bermaksud untuk membekaskan semacam makna yang mendalam.

Pesan terakhir yang diunggahnya di Facebook pun diselipi arti yang tak biasa.

Selamat berjuang sahabat buruh! Semampu ku kan berbuat apapun agar anda, kita dan mereka bisa terbuka matanya, telinganya dan hatinya untuk KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA,bunyi status  Sebastian yang lebih mirip wasiat terakhir itu.

Sebastian Manufuti dikenal sebagai sosok yang vokal dan aktif dalam organisasi buruh. Membantu sesama rekan buruh yang menghadapi masalah adalah salah satu kegiatannya selain menjadi pekerja di PT Tirta Alam Segar. Ia disebut sebagai seorang yang berkomitmen memperjuangkan nasib profesinya yang sejak lama belum juga mengenal kata “sejahtera”.

Mungkin karena lelah dengan perjuangan orasi dan demonstrasi tanpa hasil yang memuaskan, Sebastian memilih berjuang dengan cara yang lebih radikal. Ia sepertinya berencana diingat dan dikenang sebagai sosok yang menumbalkan diri demi setitik atensi dari penguasa. Akhir hidupnya yang ‘berseni’ didedikasikan untuk para buruh di seluruh negeri tepat di hari suci kaum proletar.

Belum kering di ingatan saat Mohamed Bouazizi, seorang pedagang sayuran kaki lima di Tunisia, membakar diri di tengah keramaian pasar. Bouazizi kecewa dan marah setelah dirinya habis-habisan dilecehkan pihak polisi. Gerobak yang digunakannya mencari makan disita dengan alasan tak punya izin berjualan. Ia coba membayar 10 Dinar agar polisi tak mengambil sumber penafkah hidupnya itu.

Bukan belas kasih, pria berusia 26 tahun itu ditampar, diludahi bahkan sang ayah yang sudah meninggal pun dihina. Putus asa karena ketidakadilan yang diterima, ia nekat menyulut api di tubuhnya sendiri. Tak hanya tubuh Bouazizi, amarah rakyat Tunisia pun ikut terbakar dan menyulut terciptanya sebuah revolusi besar di negara yang sejak lama ada di bawah kuasa diktator itu.

Sesudahnya, kematian Bouazizi jadi pemekar revolusi di beberapa negara Timur Tengah. Bakar diri itu mencipta “musim semi”, The Arab Spring, di tanah jazirah.

Bouazizi dan kematiannya yang tragis sukses jadi simbol perlawanan bagi mereka yang tertindas penguasa.

Di Tibet, sejak lama ratusan orang melakukan aksi bakar diri  demi merdeka dari Republik Rakyat China. Tua, muda. Pria, wanita. Orang biasa hingga pemuka agama, rela mengorbankan nyawanya dihanguskan kobaran api demi menarik perhatian dunia. Mereka tak ingin budaya dan kehidupan religi Budha yang kental di tanah Dalai Lama itu dihancurkan oleh dominasi Komunis Tiongkok yang tak kenal agama.

Lalu, apakah Sebastian ingin melakukan hal yang serupa? Benarkah ia ingin menyulut api revolusi kaum buruh yang sudah sejak lama digaungkan Karl Marx dan pengikutnya? Entahlah. Jawabannya sudah hangus tak bersisa dilalap api bersama tubuh Sebastian.

Tapi kematian Sebastian Manufuti nampaknya gagal menyulut pemberontakan besar-besaran. Tubuh gosongnya hanya mampu menarik atensi sejumlah jurnalis untuk memuat beritanya di halaman depan dan setelahnya terancam terlupakan begitu saja. Kematian Sebastian tak mampu menyulut emosi atau bahkan sebuah revolusi. Itu cuma berakhir jadi satu dari sekian banyak kejadian unik di tanggal 1 Mei. Tak lebih.

Hanya saja, Sebastian setidaknya berhasil menunjukkan jika dirinya sudah dengan baik memenuhi pesan yang terkandung di balik isi lirik lagu “Kamulah Surgaku” yang jadi pengiring detak-detik kematiannya sore itu yang begitu teatrikal,

tahukah kamu, ya cuma aku yang rela mati untukmu.”

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun