Corona belum tampak akan berakhir dalam waktu dekat, tapi satu pandemi lain muncul dan menjalar dengan cepat.
Penyakit ini bahkan lebih menyeramkan karena kehadirannya ditandai tanpa banyak gembar-gembor, tanpa peringatan siap siaga, walau basil-basilnya terlihat nyata di depan mata dan bisa saja dampaknya lebih fatal dibandingkan virus asal China.
Jika Covid-19 dipercayai muncul dari konsumsi keliru hewan kelelawar, virus yang satu ini menyebar pasca dua kejadian yang baru saja mengambil tempat fokus perhatian publik yang sudah cukup lama terpusat pada pandemi Covid; serangan teror di Prancis dan gempa di Turki.
Kehebohan bermula ketika seorang guru sejarah SMP di Prancis bernama Samuel Paty tewas dipenggal seorang pemuda 18 tahun, Abdoullakh Anzorov. Sebabnya, Anzorov menganggap Paty sudah memprovokasi dan menghina agamanya saat menggunakan karikatur Nabi Muhammad dalam diskusi kelas kewarganegaraan tentang kebebasan berbicara.
Kasus ini menjadi perhatian nasional bahkan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, unjuk komentar dengan mengecam tindakan tersebut lewat pidatonya. Rupanya pidato ini malah jadi bensin yang menyulut api makin merak karena ia dituding menyampaikan pesan “anti-Islam”. Aksi protes dan boikot langsung menggema di seantero dunia, utamanya dari negara-negara mayoritas muslim, salah satunya Turki.
Bola salju bergulir membesar: setelah beberapa teror lanjutan, puncak aksi brutal terjadi ketika tiga warga Prancis di salah satu gereja di Nice mesti meregang nyawa. Ketiganya meninggal dunia setelah mendapat serangan benda tajam, bahkan salah satu di antaranya dipenggal oleh pelaku, pada 29 Oktober lalu.
Belum usai keterkejutan publik akibat kejadian itu, esoknya 30 Oktober, dunia terhenyak saat gempa berkekuatan M 7,0 mengguncang Pantai Aegean di Turki. Gempa ini merenggut puluhan korban jiwa, bahkan memicu gelombang tsunami lokal dan ratusan gempa susulan.
Hilangnya Empati di Ujung Jari
Dua kejadian yang sebenarnya tak punya hubungan apa-apa itu rupanya menjadi trigger dari kemunculan virus baru. Virus ini dinamai “krisis empati” dan menjangkiti banyak orang, khususnya di tengah masyarakat Indonesia.
Ini terlihat jelas dari bukti yang didapati pada sumber yang sebenarnya sepele saja: fitur react di Facebook.