Yang membuat sebuah karya layak dilabeli sebagai “legenda” adalah relevansi isinya yang bertahan hidup dari waktu ke waktu. Sebuah karya yang tetap bisa lantang berkata, “nah, lihat kan? Kubilang juga apa,” ketika dihadapkan pada realitas sosial aktual, terutama jika menyangkut kegundahan moral atau saat “yang batil” sulit dibedakan dari “yang bijak” karena keduanya sama-sama berdiri pada argumen yang mudah menarik banyak pengikut.
Ray Bradbury, pada satu titik, berhasil mencapai tahapan tersebut lewat novel Fahrenheit 451. Novel yang ditulisnya pada tahun 1950 ini sudah meraih penghargaan prestisius dan jadi salah satu bacaan utama generasi muda Paman Sam. Novel ini sudah berumur lebih dari setengah abad, namun ramalan distopiannya—yang disebut sebagian pihak lebih hebat dibanding ‘1984’ milik Orwell—masih layak dianggap aktual; pernah, sedang dan bisa saja akan terbukti lagi.
Sejarah bersembuyi di balik kata dan kalimat. Tentu akan menjadi sebuah kajian panjang lebar nan kompleks (yang jelas di luar kemampuan saya yang terbatas) jika menghubungkan realitas sosial yang berlangsung saat itu yang mungkin menjadi alasan Bradbury melahirkan sebuah novel (yang awalnya tak begitu laku) di ruang bawah tanah perpustakaan Universitas Carolina, Los Angeles.
Namun sebagai pembaca awam, ada kegelisahan yang berkelindan ketika pelan-pelan membalik halaman novel ini.
[caption caption="Cover novel Fahrenheit 451 (sumber: https://kammbia1.wordpress.com)"][/caption]
Fahrenheit 451, yang awalnya dijuduli “The Fireman”, berisi tentang prognosis masa depan intelektual Amerika Serikat ketika buku sudah menjadi benda terlarang. Menyimpan buku—apalagi membacanya—adalah sebuah kejahatan serius. Pelakunya akan dihadapkan pada ganjaran hukum. Tapi lebih dari itu, hal yang paling buruk adalah ketika hampir seluruh buku yang ada diubah menjadi abu. Sebuah lembaga Pemadam Kebakaran yang dijuluki “Fahrenheit 451” (ukuran suhu di mana buku akan langsung terbakar habis) ditugaskan untuk mengawasi dan mengeksekusi setiap karya tulis yang masih eksis. Dengan peralatan sangar yang dinamai “Salamander”, petugas Pemadam Kebakaran akan dengan mudah melenyapkan kertas-kertas ringkih yang berisi pemikiran manusia sepanjang zaman itu.
Montag, tokoh utama novel ini, mengaku begitu menikmati jeritan senyap buku-buku ketika ia memusnahkannya satu per satu. Layaknya merpati yang mengepak-ngepakkan sayap sekaratnya, lalu tergeletak mati perlahan di atas tanah.
Sepertinya, petugas pemadam kebakaran yang telah mengabdi selama 8 tahun itu akan tetap menikmati hari-harinya sebagai pembantai buku, hingga pada satu waktu, seorang gadis bernama Clarisse muncul secara misterius dan mengubah sisa nasib Guy Montag.
Gadis yang mengaku berumur 17 tahun dan "kurang waras" itu, dengan caranya yang aneh, diam-diam membuka topeng yang merekat kuat di wajah Montag, menyentak Montag dengan pemikiran yang jauh di dalam hatinya ia akui adalah kebenaran yang sesungguhnya.