Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Karena Muhammad, Yesus dan Newton tak Perlu Foto Profil!

12 April 2015   12:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14288150941626176207

Beberapa orang sempat menanyakan hal yang serupa, “kenapa profil facebook dan twittermu tak pakai foto?”

Setelahnya, ragam tuduhan kejam bakal serempak mengikuti. Karena malu, jelek, karena aku takut akan terjadi pemblokiran massal di akunku.

Tanpa mau bersusah payah membantah atau malah mengiyakan tudingan itu, ada penjelasan sederhana di balik ketakpernahadaan gambar wujud asli ini di berbagai situs jejaring sosial.

Mari lihat. Jika dibuat semacam survei bagi pemakai situs pertemanan virtual seperti Facebook, Twitter, (bahkan kompasiana) atau apa pun itu, selain nama yang akan digunakan, mayoritas user akan lebih dulu memerhatikan apa tampilan avatar atau picture profil yang akan menjadi tanda pengenal akun miliknya.

Melalui foto profil, pengguna situs berusaha sekreatif mungkin menampilkan gambar yang paling menarik. Tampan dan cantik. Tentu saja, avatar atau foto profil akan menjadi sarana impresi, kesan awal potensial, yang berpeluang menemukan teman-teman lama yang sempat hilang atau bahkan penjaring ampuh sahabat baru.

Tapi lihat foto profilku. Cuma latar putih tanpa objek. Polos.

Apa menariknya? Ya memang tak menarik. Jadi, bagaimana mungkin dengan gambar-tanpa-gambar itu aku bisa dikenali bahkan memenuhi hakikat pokok diciptakannnya situs-situs jejaring sosial; mencari dan terhubung dengan teman lama atau yang baru?

Dan kenapa mesti putih? Karena putih melambangkan suci? Gerakan golongan putih? Putih sama dengan bersih? Keputihan?

Aih, filosofinya tentu tak serumit itu.

Ada yang bilang, gajah mati meninggalkan gading. Harimau juga punya belang yang disisakannya kalau dia sudah tak bernyawa lagi. Sedangkan manusia? Tak seperti dua hewan sebelumnya, bukan benda berwujud yang dipunyai sebagai warisan ketika ia sudah wafat nanti, karena cuma tinggal nama saja yang tersisa. Cuma sebaris panggilan yang akan dikenang lama. Setidaknya, itu yang diocehkan oleh peribahasa.

Kalau coba dimaknai, kiasan yang terkandung dari peribahasa itu tentu berbicara soal apa yang akan diingat orang-orang akan sesamanya ketika salah satu dari mereka sudah kehabisan waktu untuk hidup di dunia.

“Nama”, merupakan alat refleksi bagi bertumpuk-tumpuk kenangan yang tersimpan di memori setiap orang. Penyulut bermacam asosiasi citra diri. Beberapa kata yang jika diucap akan jadi pembentuk hubungan dan pertalian antara gagasan, ingatan, atau kegiatan pancaindra tentang sesuatu.

“Si Polan yang suka membantu orang” atau “Si Anu yang  pernah memutilasi tujuh pria di Jombang”. Ciri-ciri fisik bisa saja ambigu dan salah sasaran. Tapi nama—terutama bagi individu-individu hebat—jadi perwakilan diri yang sejati.

Lagi pula sederhana saja. Yesus, Muhammad dan Newton akan tetap jadi Yesus, Muhammad dan Newton sekali pun tanpa foto. Bahkan pada ajaran agama Islam, rupa Nabi Muhammad SAW dilarang keras dituangkan dalam wujud visual, entah foto atau sekadar lukisan. Haram hukumnya (walau di Iran konon lukisan Muhammad bebas diperjual-belikan). Muka Yesus Kristus pun sampai sekarang juga masih misterius. Orang Jepang menggambarkannya dengan mata sipit, sedangkan gereja-gereja di negara Afrika mendeskripsikan Yesus seorang berkulit hitam. Nasib Newton mungkin agak lebih baik. Hidup di zaman yang lebih modern membuat tampangnya bisa dikanvaskan, walau, tetap saja antara satu lukisan dengan lukisan yang lain ada detail perbedaan.

Tapi jelas, mereka tak perlu foto profil kan? Karena yang mereka tinggalkan adalah sesuatu yang lebih membekas dibandingkan keterampilan bergaya di depan kamera. Mereka dikenal dari karya, jadi panutan lintas abad berkat ragam tindak yang menghentak, dan tentu saja, produktif menghasilkan banyak foto dengan variasi pose-pose ajaib, bukanlah salah satu di antara prestasinya. Sedangkan tampilan rupa? Biarlah itu jadi tugas pereka wajah atau para saksi mata untuk membuat (atau mungkin mengarangnya).

Oke, tentu tak adil membandingkan para raksasa sejarah dengan remaja yang belum jadi apa-apa ini. Namun punya mimpi untuk dikenal sebagai seseorang yang ditandai dari karya dan lalu dikenang namanya tentulah bukan dosa.

Bagaimana dengan foto? Ya, memang beberapa profesi keren seperti modeling, fotografer, dan lain sebagainya menitikberatkan karya diri pada tampilan fisik yang tercetak di atas kertas bergambar. Dan memang, selama dilakukan dengan takaran yang wajar, tidak ada yang salah dengan  berfoto. Tak terhingga momen terbaik sepanjang masa milik pribadi, keluarga atau malah sebuah bangsa pernah, sedang dan akan dijadikan abadi berkat temuan yang satu itu.

Tapi.. tidak ada tapi. Setiap orang punya pilihan, itu intinya, termasuk soal bagaimana dirinya ingin dikenal.

Kesimpulannya, foto profil ini tetap akan berlatar putih.  Tetap jadi “gambar-tanpa-gambar”. Polos, bahkan jika dimaknai sebagai nir-arti.

Jelek? Malu? Sumber polusi? Entalah, setiap orang tentu dibebaskan berucap jujur.

Tapi di atas semua itu, ada semacam misi pribadi, motivasi diri untuk dikenal oleh orang lain dari sesuatu yang sudah kuperbuat di dunia nyata, yang menarik perhatian mereka untuk kemudian penasaran bertanya, “siapa namanya?”.

Namun jika tetap tak ada calon sahabat baru yang menghiasi “friend request”, yang berarti merupakan kegagalan namaku (karena foto ini tentu tak akan pernah berhasil) untuk dikenal,  itu mungkin saja bisa jadi salah satu sumber semangat pemacu diri agar berbuat sesuatu yang lebih baik di dunia nyata, hingga nanti, manusia yang satu ini bisa mati tanpa beban dan mampu meninggalkan sebaris namanya untuk dikenang.



Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun