SUKA TAK SUKA, rezim Soeharto telah sukses mempopulerkan istilah Pancasila ke tengah masyarakat. Apalagi sejak diberlakukan asas tunggal untuk partai dan ormas, dan saya merasa heroik karena di ambang tenggelam orde Soeharto saya ikut organisasi Islam yang "anti-Pancasila", he he he.... Pancasila benar-benar berasa ideologi kukuh. Aparat pejabat era itu begitu gampang mengecap kelompok-kelompok yang berbasis agama dan sosial-Marxis sebagai kelompok antipancasila.
Kini, 20 tahun rezim Soeharto tumbang, Pancasila hanya sayup-sayup terdengar. Lagu Garuda Pancasila tak lagi dilantunkan secara masif oleh anak-anak di bangku SD, apalagi SMP. Pejabat pemerintah pun seperti tak sepenuhnya percaya diri untuk mendakwa para ekstrem kanan dan ekstrem kiri sebagai musuh Pancasila. Dan, kita, selaku rakyat di negeri ini, juga merasa tak perlu untuk menyaringkan Pancasila sebagai ideologi yang memandu perilaku sehari-hari.
Lantas bagaimana? Entahlah, saya sendiri juga bingung mesti memulai dari mana. Apalagi saat ini mempercakapkan Pancasila akan berasa seksi. Kenapa seksi? Karena pertama, Pancasila masih diakui sebagai dasar negara. Kedua, meski terakui tapi kehilangan kredibilitas sebagai ideologi.Â
Ketiga, nyaris tinggal satu-dua orang saja yang menekuninya. Dulu ada Prof. Mubyarto, juga Pak Dawam Rahardjo yang mengetengahkan term Ekonomi Pancasila. Ada Kuntowijoyo yang selalu menyandingkan Pancasila dengan Islam, bahwa Pancasila adalah titik temu agama-agama di Indonesia. Juga Cak Nur. Dan masih banyak cendekiawan lain yang turut menggemakan Pancasila. Sementara kini, saya baru melihat seorang Yudi Latif sebagai pemikir yang rajin menjabarkan Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Jadi benar-benar akan terasa seksi untuk memperbincangkannya. Sesuatu yang sepatutnya terbuka dan diketahui secara massal, tapi kini Pancasila tersembunyi di bawah kesadaran. Kita seolah tak memerlukan Pancasila, tapi enggan untuk benar-benar menyingkirkannya dari benak. Pada saat bersamaan, kita pengin menekuninya, tapi tak yakin betul apa relevansinya, karena toh kenyataannya negara ini berjalan tanpa Pancasila. Â Â Â Â
Kita juga mafhum, sebagian besar partai-partai itu memang berasaskan Pancasila. Juga ormas-ormas, yayasan keagamaan, dan kelompok-kelompok belajar, atau sanggar diskusi. Namun, sekali lagi saya menduga mereka berjalan tanpa kejelasan makna "kenapa Pancasila", selain hanya soal memang "sepantasnya Pancasila". Semua berjalan wajar, tanpa ada sangkut-pautnya dengan pendalaman Pancasila. Tanpa ruh Pancasila.
Termasuk hari ini, 1 Juni 2018, kita bisa menikmati hari libur, karena dalam kalender tertera "Hari Lahir Pancasila". Lagi-lagi pertanyaan saya, apakah kita benar-benar pengin mengarusutamakan Pancasila? Atau hanya sekadar supaya tak kalah populer dengan hari-hari besar agama? Ataukah yang lain? Belum lagi soal perdebatan, apa benar Pancasila dilahirkan pada tanggal 1 Juni.
Saya tak punya kapasitas untuk mengulas Pancasila. Dalam catatan ini saya sebatas rindu dengan masa kecil saya yang kudu menghafal butir-butir Pancasila. Sebagai misal butir sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang masih saya ingat: "Mengembangkan sikap hormat dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda...Membina kerukunan hidup antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa."
Butir-butir yang menuntut pemahaman saya saat itu untuk bisa memandang bahwa agama itu tidak tunggal. Juga ada penganut kepercayaan di luar agama. Yang kesemuanya berhak hidup di negeri ini, dan kita mesti bisa menghormatinya. Bahkan hidup rukun dan saling kerjasama. Termasuk menghormati ketika pemeluk keyakinan yang berbeda itu lagi menjalankan ibadah. Itu saja. Saya kangen saat-saat menghafal butir-butir Pancasila itu jadi ritual yang tak kalah heboh dengan menghafal surat-surat pendek Al-Quran.
Namun, masih perlukah kini pelaziman untuk menghafal butir-butir Pancasila? Apalagi anak-anak sekarang sudah terlampau banyak beban yang mesti mereka ingat. Belum lagi berita-berita penyelewengan kekuasaan, pejabat korupsi, artis selingkuh, ustaz-ustaz penganjur bela agama, kasus bom bunuh diri, terus meruyak ke permukaan. Kasus-kasus yang justru menyudutkan keberadaan Pancasila.
Walhasil, kalaupun bukan penghafalan butir-butir, paling tidak upaya penghayatan terhadap dasar negara ini tetap harus dipikirkan. Bagaimana? Ya, mari kita pikirkan! Ha ha ha ha.... Â Jangan sampai Pancasila hanya gagah kita ucapkan, tapi diam-diam kita tak menghayatinya sebgai pandangan hidup. Kita sematkan sebagai asas gerakan, tapi tiada pendasaran pemahaman atasnya. Sehingga tak aneh sekiranya Pancasila "hadir" tanpa kesan sama sekali.