Mohon tunggu...
Ardie Adami
Ardie Adami Mohon Tunggu... -

LELAKI kelahiran Kendari, 11 Mei 1982 ini adalah bungsu dari empat bersaudara. Sejak kecil, ia dikenal dengan nama Iman, empat huruf terakhir dari nama panjangnya: Ardiman. Namun kini, ia lebih senang dipanggil Ardi, empat huruf pertama. Di usia yang sudah memasuki kepala tiga, ia terus berupaya melakukan perubahan dalam dirinya agar menjadi manusia yang sesungguhnya, seperti motto yang selalu ia ikrarkan untuk membuatnya terus bersemangat: Esok sudah tidak bisa lagi mengubah apa yang terjadi hari ini, tapi hari ini masih dapat mengubah apa yang akan terjadi pada hari esok...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kebahagiaan dalam Genggaman

30 Juli 2013   15:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:50 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“Kebahagiaan adalah dirimu yang kau damaikan dengan keikhlasan, kau gembirakan dengan kesyukuran, serta kau banggakan dengan pekerjaan yang baik bagi dirimu dan sesamamu.” – Mario Teguh

Bilamana Anda merasa bahagia? Apakah ketika Anda meraih kesuksesan, kekayaan, atau kesenangan? Dalam sebuah sesi pelatihan, seorang pakar perencana keuangan melontarkan pertanyaan itu.Hampir semua peserta bergantian mengutarakan pendapatnya. Tidak sedikit dari mereka yang mempersepsikan kebahagiaan dengan kekayaan. Alasannya, kekayaan memungkinkan seseorang untuk memiliki apapun yang diinginkan dan memenuhi kebutuhannya. Apalagi sebuah penelitian terkini membuktikan bahwa orang dengan uang berlimpah menunjukkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibanding orang dengan penghasilan yang relatif rendah.

Seperti dilansir pada situs MarketWatch.com beberapa waktu lalu, sebuah studi berjudul Subjective Well-Being and Income: Is There Any Evidence of Satiation? mengungkap adanya perbandingan lurus antara kekayaan dan kebahagiaan. Dalam penelitian yang dirilis American Economic Review, Papers, and Proceedings edisi Mei 2013 ini, ekonom Betsey Stevenson dan Justin Wolfers dari University of Michigan menyimpulkan tidak ada titik puncak atas kepuasan dengan uang.Dengan kata lain, tidak ada bukti adanya titik kepuasan antara uang dan kebahagiaan.

Mungkin banyak di antara kita yang meyakini hal serupa.Bahwa bahagia itu apabila kita kaya, sukses, atau dapat menikmati berbagai kesenangan. Keyakinan itu sedemikian kuat sehingga kita terpesona melihat orang yang memiliki salah satu atau ketiga-tiganya. Nyatanya, kekayaan dan kesuksesan tidak dapat membeli kebahagiaan. Semuanya hanyalah alat untuk mencapai kebahagiaan. Hasil kajian Paul Wachtel pada masyarakat Negeri Paman Sambelasan tahun silam menunjukkan hal tersebut. Menurut profesor psikologi sosial dari The City University of New York ini,kebahagiaan dan kepuasan hidup selalu berbanding terbalik dengan akumulasi kekayaan seseorang. Makin meningkat jumlah kekayaan materi yang dimiliki, makin meningkat pula jumlah permasalahan dalam kehidupannya, makin tinggi tingkat stres yang dialami, dan makin tidak bahagia kehidupan seseorang.

Pada dasarnya, seseorang tidak akan pernah puas dalam arti sempurna, kecuali hanya dalam waktu yang singkat. Kalau kebahagiaan itu terletak pada gemerlapnya kekayaan dan kemilau kesuksesan, seluruh isi dunia tak akan cukup memenuhi ambisi-ambisi kita. Kadang kekayaan dan kesuksesan itu tidak memberi apa-apa bagi pemiliknya, melainkan keresahan dan kekhawatiran. Betapa banyak orang yang makmur hidupnya, namun hari-harinya dipenuhi oleh keluh-kesah yang tak berkesudahan. Ada perasaan hampa di tengah hingar-bingar kehidupannya. Ada pula kepedihan yang mengusik hati di antara kepenatan jiwa dan ketidakbermaknaan hidup. Alhasil, kekayaan dan kesuksesan justru menjauhkannya dari rasa bahagia.

Kebahagiaan tentu menjadi dambaan setiap orang. Bukan hanya di akhirat kelak, melainkan juga di dunia yang sekarang nyata. Hasrat inilah yang mendasari berbagai aktivitas kita agar kehidupan ini dirasakan berarti dan berharga. Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik, memopulerkan piramida kebutuhan (hierarki needs) manusia. Semakin tinggi bagian piramida, semakin abstrak pula kebutuhannya. Pada tingkat yang paling bawah, manusia hanya memenuhi kebutuhan makan dan minum (physiological needs). Ia hanya memuaskan kebutuhan biologisnya.

Bila kebutuhan biologis itu sudah terpenuhi, kebutuhannya akan naik pada tingkat selanjutnya, yakni kebutuhan akan kasih sayang (belonging and love needs) serta ketenteraman dan rasa aman (safety needs). Lebih atas lagi, manusia butuh akan perhatian dan pengakuan (need for esteem). Dan lebih tinggi daripada itu adalah kebutuhan akan aktualisasi diri (need for self actualization). Pada level inilah seseorang akan mencapai puncak kebahagiaan tertinggi dalam hidupnya.

Konon, sebelum ajal menjemput, Maslow sempat menyesal karena teori piramida kebutuhan manusia yang dibuatnya itu ternyata terbalik. Dia sadar, piramidanya membuat orang menjadi tamak, egois, dan materialistis. Akibatnya, orang tidak punya kepekaan sosial karena hanya mengejar kebutuhan dasar. Boleh jadi mengguritanya kasus korupsi di negeri ini disebabkan keserakahan oknum pejabat publik dalam memenuhi kebutuhan itu. Padahal, jika aktualisasi diri dipenuhi lebih dahulu, kebutuhan dasar dengan sendirinya akan terpenuhi. Belakangan Maslow menempatkan kebutuhan spiritual (transcendental needs) sebagai puncak kebutuhan manusia. Aspek spiritualitas ini pula yang mengantar seseorang menemukan makna hidup (the meaning of life) dan mengembangkan hidup bermakna (the meaningful life).

Proses penemuan makna hidup ini biasanya terjadi secara bertahap dan alamiah. Bahkan tidak sepenuhnya disadari, pun tidak secara sengaja direncanakan. Ketika kita sudah menemukan makna hidup, maka kita akan merasakan kehidupan yang berarti. Berbagai kondisi yang menimpa kita, baik itu keadaan yang menyenangkan maupun menyedihkan sekalipun, akan dapat membangkitkan semangat dan optimisme. Hasrat ini mampu menginspirasi kita menjadi pribadi yang berkualitas dengan kehidupan yang sarat akan aktivitas yang bermakna.

Menekuni suatu pekerjaan serta meningkatkan keterlibatan diri terhadap tugas dan tanggung jawab yang diemban itu merupakan salah satu sarana menemukan makna hidup. Prinsipnya, pekerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati merupakan sumber kepuasan dan kesenangan. Karena itu, seseorang dinilai bukan dari hasil yang dicapai, melainkan dari proses yang dilaluinya. Melalui kesungguhan dan keikhlasan dalam bekerja, kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Dengan semua itu, apa yang dapat menghalangi kita untuk merengkuh kebahagiaan dalam genggaman?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun