Pernah berjaya di masa keemasannya, Nokia dan Tupperware adalah dua nama besar yang sempat tak tergantikan di bidangnya. Nokia pernah menjadi raja ponsel dunia, sementara Tupperware merajai dapur dan rak penyimpanan rumah tangga di berbagai belahan dunia. Namun, keduanya kini berada di ujung tanduk kebangkrutan.
Sekilas, nasib keduanya terlihat serupa: sama-sama gagal beradaptasi dengan zaman. Namun, jika dikupas lebih dalam, ada perbedaan mendasar dalam cara keduanya jatuh. Inilah kisah dua legenda bisnis dunia yang jatuh dari puncak kejayaan---serupa, tapi tak sama.
Nokia: Ketika Terlalu Nyaman Menjadi Raja

Alih-alih mengikuti jejak Apple dalam mengembangkan sistem operasi modern dan layar sentuh yang intuitif, Nokia justru bertahan dengan Symbian yang mulai usang. Ketika Android merajalela, Nokia malah memilih bekerjasama dengan Microsoft dan meluncurkan Lumia dengan sistem operasi Windows Phone---yang ironisnya tak pernah mendapat tempat di hati pengguna.
Menurut data dari Statista, pangsa pasar Nokia yang sempat menyentuh 49.4% pada tahun 2007, anjlok ke bawah 5% hanya dalam waktu lima tahun. Tahun 2013, Nokia resmi menjual divisi ponsel ke Microsoft dengan nilai hanya sekitar USD 7,2 miliar, jauh dari nilai kejayaannya.
Kesalahan fatal Nokia adalah arrogance of success. Nokia terlalu percaya diri dan lamban beradaptasi dengan perubahan pasar. Budaya perusahaan yang kaku dan tidak terbuka terhadap inovasi menjadi bumerang mematikan. Bahkan salah satu eksekutif Nokia pernah berkata, "We didn't do anything wrong, but somehow, we lost." Sebuah kalimat ironis yang mencerminkan ketidaksadaran mereka atas perubahan besar yang sedang terjadi.
Tupperware: Tenggelam karena Tak Mengenal Konsumen Baru
Jika Nokia gagal karena teknologi, maka Tupperware runtuh karena kegagalan memahami generasi baru konsumennya.
Didirikan pada 1946 oleh Earl Tupper, Tupperware menjadi pelopor wadah plastik inovatif yang praktis dan tahan lama. Namun, kekuatan terbesar Tupperware justru bukan produknya, melainkan sistem penjualannya: Tupperware Party. Acara arisan rumah tangga ini menjadi ladang pemasaran efektif di kalangan ibu rumah tangga di era 50-an hingga 90-an.