Pramoedya Ananta Toer, atau yang akrab disapa Pram, adalah salah satu sastrawan terbesar Indonesia yang karyanya telah mendunia. Namanya sering dikaitkan dengan karya-karya monumental seperti Tetralogi Buru dan Bumi Manusia. Namun, di balik ketenarannya, ada banyak fakta menarik tentang Pram yang mungkin belum diketahui banyak orang. Berikut adalah lima hal yang jarang diungkap tentang kehidupan dan karya Pramoedya Ananta Toer.
1. Pramoedya Adalah Seorang Otodidak yang Gigih
Meskipun Pramoedya dikenal sebagai penulis hebat, tidak banyak yang tahu bahwa ia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya secara formal. Pram hanya menempuh pendidikan hingga tingkat SMA di SMA Taman Siswa, Jakarta. Namun, minatnya yang besar terhadap literatur dan sejarah membuatnya terus belajar secara mandiri. Ia rajin membaca buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari sastra, politik, hingga filsafat.
Keterbatasan pendidikan formal tidak menghalanginya untuk menjadi seorang intelektual yang diakui dunia. Bahkan, selama di penjara, Pram terus menulis dan membaca. Ia sering menyelundupkan buku-buku ke dalam selnya, yang kemudian menjadi sumber inspirasinya untuk menulis karya-karya besar seperti Tetralogi Buru.
2. Karyanya Dilarang di Era Orde Baru, Tapi Tetap Diterbitkan Secara Rahasia
Selama rezim Orde Baru, karya-karya Pramoedya dilarang beredar di Indonesia karena dianggap mengandung pesan yang bertentangan dengan pemerintah. Namun, larangan ini tidak menghentikan penyebaran karyanya. Buku-buku Pram justru diterbitkan secara diam-diam dan disebarkan melalui jaringan bawah tanah.
Salah satu contohnya adalah Tetralogi Buru, yang ditulisnya selama masa tahanan di Pulau Buru. Naskah-naskah tersebut diselundupkan keluar dari penjara dan diterbitkan di luar negeri. Karya-karya Pram kemudian diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, menjadikannya salah satu penulis Indonesia yang paling banyak dibaca di dunia.
3. Pramoedya Hampir Menjadi Korban Pembunuhan Massal 1965
Tragedi 1965 menjadi salah satu periode paling kelam dalam sejarah Indonesia. Pramoedya, yang saat itu aktif dalam organisasi kebudayaan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), nyaris menjadi korban pembunuhan massal. Ia ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan selama 14 tahun, termasuk di Pulau Buru.
Selama di penjara, Pram mengalami berbagai bentuk penyiksaan dan tekanan mental. Namun, ia tetap bertahan dan menggunakan waktunya untuk menulis. Pengalaman ini memberikan pengaruh besar pada karya-karyanya, yang sering kali mengangkat tema tentang ketidakadilan dan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter.