Perayaan Imlek tahun 2025 menjadi momen refleksi tidak hanya bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memahami perjalanan panjang kebudayaan Tionghoa di Tanah Air. Dari masa kelam di bawah kekangan Orde Baru hingga kebangkitan budaya di era reformasi, perjalanan kepercayaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia menyimpan kisah perjuangan yang luar biasa.
Sejarah Masuknya Tradisi Tionghoa ke Nusantara
Tradisi Tionghoa telah menjadi bagian dari identitas budaya Indonesia sejak ribuan tahun lalu. Berdasarkan catatan sejarah, interaksi antara Nusantara dan Tiongkok sudah berlangsung sejak abad ke-5, melalui jalur perdagangan maritim. Banyak pedagang Tionghoa yang datang ke pelabuhan-pelabuhan besar seperti Palembang, Tuban, dan Sunda Kelapa. Seiring dengan itu, mereka membawa budaya, tradisi, serta kepercayaan seperti Konghucu, Taoisme, dan Buddha Mahayana.
Komunitas Tionghoa yang bermukim di Nusantara mulai membaur dengan masyarakat lokal, membentuk akulturasi budaya yang terlihat dalam kuliner, seni, dan arsitektur. Contohnya, klenteng-klenteng yang didirikan tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai pusat budaya.
Namun, meski memiliki kontribusi besar dalam membangun kebudayaan lokal, masyarakat Tionghoa tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Sejarah Indonesia mencatat berbagai peristiwa diskriminasi dan marginalisasi yang menimpa komunitas ini, terutama di masa penjajahan Belanda dan era modern.
Kekangan di Masa Orde Baru
Era Orde Baru (1966-1998) merupakan masa kelam bagi kebebasan beragama dan berekspresi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Di bawah kebijakan pemerintah saat itu, segala bentuk perayaan tradisional Tionghoa, termasuk Imlek, dilarang dilakukan di ruang publik. Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto menyatakan bahwa kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dilakukan secara terbatas di lingkungan keluarga.
Tidak hanya itu, Konghucu, yang merupakan salah satu kepercayaan utama masyarakat Tionghoa, tidak diakui sebagai agama resmi negara. Banyak klenteng yang terpaksa ditutup, dan nama-nama Tionghoa diharuskan diganti dengan nama-nama Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya meminggirkan kepercayaan Tionghoa, tetapi juga mengikis identitas budaya mereka.
Ironisnya, diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa di masa itu juga dibarengi dengan stereotip ekonomi, di mana komunitas Tionghoa kerap dilabeli sebagai kelompok yang menguasai perekonomian negara. Hal ini memperparah jarak sosial antara masyarakat Tionghoa dan kelompok etnis lainnya di Indonesia.
Kebangkitan di Era Reformasi