Ujian Nasional (UN) di Indonesia telah menjadi topik perdebatan selama bertahun-tahun. Setelah bertahun-tahun menjadi tolok ukur kualitas pendidikan di tanah air, UN sempat ditiadakan dan diganti dengan Asesmen Nasional (AN) pada tahun 2020 sebagai respons terhadap pandemi COVID-19 serta sebagai upaya untuk melakukan evaluasi pendidikan yang lebih komprehensif. Namun, wacana untuk mengembalikan UN kembali muncul di tengah masyarakat. Meskipun demikian, jika UN kembali diberlakukan, ada beberapa aspek penting yang perlu ditingkatkan agar penerapannya optimal dalam mendukung peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sejarah Singkat Ujian Nasional
Ujian Nasional pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1950-an sebagai Ujian Penghabisan, yang kemudian berevolusi menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) pada era 1980-an, dan akhirnya dikenal sebagai Ujian Nasional (UN) sejak awal 2000-an. Tujuan dari UN adalah untuk menstandarkan hasil belajar siswa di seluruh Indonesia, memberikan gambaran kualitas pendidikan nasional, dan menjadi salah satu syarat kelulusan.
Namun, kritik terhadap UN semakin menguat karena dianggap terlalu menitikberatkan pada aspek akademik saja, tanpa mempertimbangkan kompetensi siswa secara lebih menyeluruh. Akibatnya, pada tahun 2020, pemerintah menggantinya dengan Asesmen Nasional, yang fokus pada literasi, numerasi, dan survei karakter. Akan tetapi, dengan adanya wacana untuk mengembalikan UN, penting bagi kita untuk mempertimbangkan apa saja yang perlu diperbaiki agar ujian tersebut benar-benar dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
Tantangan dalam Penerapan Ujian Nasional
Sebelum membahas apa yang perlu ditingkatkan, penting untuk memahami tantangan yang dihadapi selama penerapan UN di masa lalu:
Ketergantungan pada Nilai Akademik: Ujian Nasional hanya berfokus pada beberapa mata pelajaran tertentu, seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), yang menyebabkan tekanan besar pada siswa untuk mencapai nilai tinggi dalam mata pelajaran tersebut. Hal ini sering kali mengabaikan aspek lain dari pendidikan, seperti pengembangan karakter, kreativitas, dan keterampilan sosial.
Ketimpangan Kualitas Pendidikan: Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan kondisi geografis yang beragam. Hal ini menyebabkan adanya disparitas kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Pada masa lalu, UN sering kali memperlihatkan kesenjangan ini, dengan siswa di daerah perkotaan cenderung mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan siswa di daerah terpencil.
Tekanan Psikologis pada Siswa: UN dianggap sebagai penentu kelulusan siswa, sehingga menciptakan tekanan psikologis yang besar. Banyak siswa yang mengalami stres dan kecemasan yang berlebihan karena khawatir tidak lulus, yang pada akhirnya dapat mengganggu kesehatan mental mereka.
Praktik Kecurangan: Salah satu masalah utama yang terjadi adalah adanya praktik kecurangan selama pelaksanaan UN, baik dari pihak siswa, guru, maupun pihak sekolah. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi, yang justru menghilangkan esensi dari evaluasi pendidikan yang sebenarnya.
Apa yang Perlu Ditingkatkan?
Jika Ujian Nasional akan kembali diberlakukan, terdapat beberapa aspek yang perlu diperbaiki agar ujian ini benar-benar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan:
1. Pendekatan Holistik dalam Evaluasi
Ujian Nasional yang baru harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, tidak hanya menilai kemampuan akademik tetapi juga aspek lain seperti keterampilan berpikir kritis, kreativitas, serta karakter siswa. Penilaian yang lebih beragam dapat dilakukan dengan menggabungkan ujian tertulis dengan proyek, portofolio, dan tes keterampilan praktis. Hal ini sejalan dengan pendekatan pada Asesmen Nasional yang sudah mulai mengukur literasi dan numerasi sebagai dasar kompetensi.
2. Pemerataan Kualitas Pendidikan
Pemerintah perlu meningkatkan pemerataan akses pendidikan yang berkualitas di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, hanya sekitar 70% sekolah di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) yang memiliki fasilitas pendidikan yang memadai. Oleh karena itu, peningkatan sarana dan prasarana, pelatihan guru, serta program pendampingan di daerah terpencil harus menjadi prioritas agar hasil UN lebih mencerminkan kemampuan yang sesungguhnya dari seluruh siswa, tanpa terpengaruh oleh faktor geografis.
3. Penguatan Sistem Penilaian Berbasis Teknologi