Dalam beberapa tahun terakhir, data menunjukkan penurunan angka perkawinan di Indonesia, fenomena yang mulai menarik perhatian berbagai kalangan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat perkawinan mengalami penurunan dari tahun ke tahun, terutama di kalangan milenial dan generasi Z. Pada 2023, angka perkawinan tercatat menurun lebih dari 10% dibandingkan dekade sebelumnya. Pertanyaannya, mengapa angka ini terus menurun, dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya?
 1. Pergeseran Nilai dan Gaya Hidup
  Salah satu faktor utama yang memengaruhi keputusan untuk menunda atau menghindari pernikahan adalah perubahan nilai dan gaya hidup. Generasi muda Indonesia, terutama mereka yang tinggal di perkotaan, semakin mengutamakan pendidikan dan karier sebelum menikah. Banyak dari mereka yang ingin mencapai stabilitas finansial atau mengejar ambisi pribadi terlebih dahulu, sebelum mengikat diri dalam sebuah pernikahan. Sebuah survei oleh BPS menemukan bahwa 60% responden dari kelompok usia 25-35 tahun menganggap karier lebih penting daripada menikah di usia muda.
  Selain itu, munculnya konsep "self-love" atau mencintai diri sendiri juga menjadi tren yang memengaruhi keputusan untuk menikah. Banyak anak muda yang berpandangan bahwa menikah bukan lagi satu-satunya jalan menuju kebahagiaan, melainkan pilihan yang dapat diambil atau ditunda sesuai dengan kesiapan pribadi.
 2. Tantangan Ekonomi yang Kian Berat
  Masalah ekonomi menjadi alasan kuat bagi generasi muda untuk menunda pernikahan. Dalam sepuluh tahun terakhir, harga properti dan biaya hidup meningkat tajam, terutama di wilayah perkotaan. Misalnya, di Jakarta, harga rata-rata rumah tapak naik hampir 15% per tahun. Kenaikan harga ini membuat banyak anak muda merasa perlu menunda pernikahan hingga mereka memiliki cukup dana untuk membeli rumah atau mendukung kebutuhan keluarga.
  Selain itu, tingkat pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi cukup tinggi, yang menyebabkan ketidakstabilan finansial bagi sebagian besar generasi muda. Menurut data BPS, pada 2022, tingkat pengangguran terbuka untuk kelompok usia 20-24 tahun mencapai 15%, angka yang cukup tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Hal ini menjadi alasan mengapa banyak yang memilih untuk fokus membangun karier sebelum memikirkan pernikahan.
 3. Perubahan Pandangan terhadap Lembaga Pernikahan
  Ada pula pergeseran pandangan terhadap pernikahan itu sendiri. Beberapa generasi muda merasa bahwa pernikahan adalah institusi yang tidak selalu relevan dengan kehidupan modern. Sebagian orang merasa bahwa ikatan formal seperti pernikahan tidak lagi diperlukan, terutama bagi mereka yang lebih memilih hubungan yang fleksibel dan tidak terikat.
  Di beberapa negara, fenomena "pernikahan tanpa kertas" (nikah siri atau hidup bersama tanpa ikatan formal) menjadi alternatif bagi pasangan yang tidak ingin terikat oleh birokrasi dan hukum. Meskipun fenomena ini belum begitu meluas di Indonesia, beberapa penelitian menunjukkan adanya kecenderungan ke arah tersebut, terutama di kalangan urban.