Dunia politik sering kali menciptakan polarisasi di masyarakat. Para politisi yang berambisi mempertahankan kekuasaan cenderung menggunakan retorika yang memecah-belah, baik berdasarkan ideologi, agama, atau suku. Hal ini terlihat dalam berbagai kampanye yang menggunakan narasi "kami melawan mereka," sehingga masyarakat terpecah menjadi kubu-kubu yang berlawanan. Polarisasi yang berlebihan ini tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga melemahkan kemampuan masyarakat untuk bekerja sama dan membangun negara yang kuat.
6. Taktik Pembingkaian (Framing) yang Manipulatif
Dalam komunikasi politik, framing menjadi senjata untuk membentuk persepsi masyarakat. Politisi dan tim kampanye menggunakan framing untuk mengatur bagaimana suatu isu dipandang oleh publik. Misalnya, mereka bisa menggambarkan suatu kebijakan sebagai "pro rakyat," padahal mungkin mengandung agenda tersembunyi. Taktik pembingkaian ini bukan hanya berbahaya bagi demokrasi, tetapi juga membatasi kemampuan masyarakat untuk melihat kebenaran secara objektif.
7. Pengkhianatan Janji Politik
Janji yang diucapkan saat kampanye sering kali hanya menjadi omong kosong ketika politisi telah berada di kursi kekuasaan. Banyak politisi yang dengan mudah meninggalkan janji-janji tersebut, terutama janji-janji yang melibatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat merasa dikhianati ketika kebijakan yang diimplementasikan ternyata tidak sejalan dengan janji-janji kampanye, menciptakan frustrasi dan apatisme terhadap sistem politik.
8. Eksploitasi Keadaan Darurat
Dalam situasi darurat, pemerintah memiliki kekuasaan lebih besar untuk membuat keputusan yang biasanya memerlukan persetujuan lebih lanjut. Beberapa politisi memanfaatkan situasi darurat, seperti bencana alam atau pandemi, untuk memperluas kekuasaan mereka atau mengabaikan proses demokrasi. Contoh nyata adalah ketika sejumlah negara memberlakukan undang-undang darurat saat pandemi COVID-19, beberapa di antaranya kemudian digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat atau mengkonsolidasikan kekuasaan, alih-alih membantu masyarakat.
9. Politik Identitas yang Memecah-belah
Politik identitas, di mana politisi mengandalkan perbedaan identitas (ras, agama, atau etnis) untuk meraih dukungan, telah menjadi taktik yang sangat umum. Meski strategi ini sering efektif, dampak negatifnya sangat besar karena dapat menimbulkan ketegangan sosial, konflik, dan diskriminasi. Di banyak negara, politik identitas justru memicu kekerasan dan perpecahan yang semakin melemahkan solidaritas sosial.
Dampak Buruk dan Pentingnya Reformasi
Semua praktik negatif ini memperkuat persepsi bahwa politik itu "jahat." Namun, mengingat betapa pentingnya peran politik dalam menjaga stabilitas dan kemakmuran sebuah negara, langkah-langkah reformasi perlu dilakukan. Memperkuat aturan anti-korupsi, meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan, dan mendorong pendidikan politik yang sehat adalah beberapa langkah yang dapat mengurangi dampak negatif dari politik. Peran masyarakat juga sangat penting dalam menuntut para politisi bertanggung jawab atas tindakan mereka.