Pendidikan di Indonesia terus mengalami transformasi yang signifikan, salah satunya adalah dengan diterapkannya Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini diperkenalkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, memperkuat karakter siswa, serta memberikan kebebasan kepada sekolah dalam menentukan proses pembelajaran.
Namun, meskipun secara teori tampak menjanjikan, pelaksanaannya di lapangan tidak lepas dari kritik. Beberapa masalah mendasar yang jarang mendapat perhatian dari pemangku kebijakan perlu disorot agar penerapan Kurikulum Merdeka dapat berjalan lebih efektif dan merata.
 Tujuan dan Paradigma Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka bertujuan untuk mengembalikan otonomi pendidikan kepada sekolah dan guru dengan memberi kebebasan dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa.
Ini diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada guru untuk mengembangkan kreativitas, serta memungkinkan siswa belajar sesuai dengan minat dan bakat mereka.
Pendekatan ini dianggap sebagai respons terhadap tuntutan zaman yang membutuhkan individu kreatif, adaptif, dan inovatif di tengah perkembangan teknologi dan globalisasi.
Dalam konsep Kurikulum Merdeka, siswa tidak hanya ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, tetapi juga pengembangan karakter.
Melalui Profil Pelajar Pancasila, siswa didorong untuk menjadi individu yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, gotong royong, kreatif, kritis, dan mandiri. Konsep ini dinilai sejalan dengan cita-cita pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Kritik Terhadap Penerapan Kurikulum Merdeka
Meskipun Kurikulum Merdeka membawa semangat perubahan, pelaksanaannya menghadapi sejumlah kritik dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi pendidikan maupun akademisi. Berikut beberapa kritik utama terhadap penerapan Kurikulum Merdeka.
1. Kurangnya Persiapan dan Pelatihan Guru