Fenomena pembukaan lahan tambang yang semakin masif di Indonesia mencerminkan peningkatan kebutuhan ekonomi terhadap eksploitasi sumber daya alam, terutama untuk memenuhi permintaan global akan batu bara, nikel, dan logam mulia. Aktivitas ini tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah kaya sumber daya seperti Kalimantan, Sumatera, dan Papua, tetapi juga merambah ke kawasan hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi.
 Pembukaan lahan secara besar-besaran ini sering kali dilakukan dengan metode yang merusak lingkungan, seperti penebangan hutan secara tidak terkendali dan penggunaan alat berat yang menghancurkan ekosistem. Di balik dorongan ekonomi ini, terdapat dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan, termasuk kerusakan habitat, polusi air, dan peningkatan emisi karbon. Konflik sosial juga kerap muncul, terutama dengan masyarakat adat yang tergantung pada hutan untuk kehidupan sehari-hari mereka. Fenomena ini menggambarkan tantangan serius dalam upaya menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Pada tahun 2023, lahan tambang di Indonesia mencakup sekitar 10 juta hektare, dengan sebagian besar dikelola oleh perusahaan besar. Beberapa di antaranya adalah perusahaan milik negara seperti PT Timah, yang menguasai 487.516 hektare lahan, dan PT Aneka Tambang (Antam) dengan 454.885 hektare. Selain itu, beberapa perusahaan swasta besar juga memiliki lahan tambang yang signifikan, seperti Adaro dengan 307.949 hektare, dan Bumi Resources yang menguasai 257.237 hektare.
Selain itu, pada tahun 2023, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara mencatat bahwa 7.920,77 hektare lahan bekas tambang telah direklamasi, melebihi target yang ditetapkan yaitu 7.075 hektare. Proses reklamasi ini penting untuk memulihkan lahan pasca-pertambangan agar dapat digunakan kembali secara produktif atau mendekati kondisi alaminya.
Kementerian ESDM juga mencatatkan bahwa realisasi produksi batu bara pada tahun 2023 mencapai 775,2 juta ton, dengan pemanfaatan dalam negeri sebesar 213 juta ton. (Badan Pusat Statistik 2023)
Lebih lanjut, jika kita melihat dari jumlah hasil produksi tambang di Indonesia hingga tahun 2023, Â jumlah tambang di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan, terutama dalam produksi dan pemanfaatan mineral serta batubara. Produksi batubara Indonesia pada 2023 mencapai 775 juta ton, melampaui target 695 juta ton.Â
Dari jumlah tersebut, 213 juta ton dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO), sementara sisanya diekspor. Pertumbuhan ini sebagian didorong oleh peningkatan permintaan dalam negeri, terutama dari sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Untuk sektor mineral, produksi komoditas seperti emas mencapai 83 ton, timah 67,6 ribu ton, dan ferronikel 535,2 ribu ton. Investasi di sektor tambang pada 2023 mencapai USD 7,46 miliar, mendekati target USD 7,7 miliar (ESDM)
Berdasarkan paparan data mengenai tambang di Indonesia, tidak mengherankan bahwa iming-iming keuntungan besar dari produksi lahan tambang menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian kelompok masyarakat maupun penguasa. Kegiatan tambang, baik yang legal maupun ilegal, memberikan potensi keuntungan ekonomi yang besar, terutama di sektor batu bara, nikel, dan emas yang sangat diminati di pasar global. Namun, fenomena ini sering kali diwarnai oleh pelanggaran hukum, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, dan konflik dengan masyarakat lokal. Iming-iming pendapatan yang tinggi juga mendorong banyak pihak untuk terlibat dalam tambang ilegal, meskipun mereka menyadari risiko lingkungan dan sosial yang ditimbulkannya.