Kebijakan, Kebijaksanaan, dan Kebajikan
Kritik terhadap sesuatu memang sangatlah penting bagi perkembangan diri seseorang. Mau siapapun yang menjadi manusia, di belahan bagian dunia manapun ia menetap, kritik seakan telah menjadi nasihat terbaik untuk diri seseorang dapat berkembang dan belajar dari kekurangan atau kesalahan yang telah dilakukan.Â
Nampaknya, hal tersebut pula yang cocok diberikan kepada arah bangsa Indonesia melangkah terutama dari aspek pendidikan. Tentu jika kita melihat di banyak penelitian terkait peringkat negara-negara dalam hal pengetahuan literasi, numerasi, hingga sains, Indonesia masih berada di negara yang rankingnya masih tertinggal.
Ibaratnya, Indonesia kita analogikan sebagai seorang murid nah murid tersebut harus bersekolah di sekolah ternama yang di dalamnya ada pula murid yang pandai seperti dari Amerika Serikat, Singapura, Inggris, Finlandia, Swiss, hingga Jepang yang notabene mereka memiliki kualitas sistem pendidikan yang jauh berada di atas negara kita.
Lebih lanjut, mari kita coba bahas dari awal kurikulum di Indonesia ini mulai diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Mulai dari misi menyelesaikan permasalahan buta huruf yang terjadi sejak era kolonialisme atau sebelum kemerdekaan berkumandang, dilanjutkan misi utama yakni menyokong Indonesia di era awal industrial yakni era orde baru, hingga menggalakkan misi menuju generasi Indonesia emas tahun 2045, masalah yang ada dalam bidang pendidikan tak akan pernah ada solusi atau bahkan menunjukkan tanda-tanda selsesai.
Tak cukup sampai di situ, rasa-rasanya hal buruk yang dialami oleh bidang pendidikan kerap diperparah dengan ragam kebijakan yang sering diputuskan secara sembrono. Sebagai contoh akan dimuat dalam ilustrasi berikut ini.
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, berbagai kebijakan yang unik atau dianggap nyeleneh telah diambil dari era Orde Lama hingga sekarang. Berikut adalah beberapa contoh kebijakan tersebut:
1. Politik Pendidikan di Era Orde Lama
- Pendidikan sebagai Alat Politik: Pada era Orde Lama, terutama di bawah pemerintahan Presiden Sukarno, pendidikan sering kali digunakan sebagai alat politik. Pendidikan diarahkan untuk mendukung ideologi yang dianut pemerintah, seperti konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Sekolah-sekolah dan universitas diharuskan mengikuti panduan ideologi ini, yang kadang mengakibatkan pembelajaran lebih menekankan pada doktrinasi daripada pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Sistem Wajib Belajar 6 Tahun (Orde Baru)
- Pemerataan Pendidikan: Pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, pemerintah menerapkan sistem wajib belajar 6 tahun untuk pendidikan dasar. Meski kebijakan ini bertujuan baik, dalam praktiknya banyak daerah terpencil yang tidak mampu menyediakan sarana pendidikan yang memadai. Akibatnya, ada daerah yang tidak bisa memenuhi kewajiban ini, dan akhirnya banyak anak yang putus sekolah atau terpaksa tidak melanjutkan pendidikan.
3. Ebtanas dan Ujian Nasional (Orde Baru dan Reformasi)
- Pengukuran Standar Pendidikan Nasional: Ujian Nasional (UN) yang sebelumnya dikenal sebagai Ebtanas, diperkenalkan sebagai alat untuk mengukur standar pendidikan secara nasional. Namun, kebijakan ini sering dikritik karena terlalu menekankan pada ujian sebagai penentu kelulusan, sehingga memicu stres bagi siswa, guru, dan orang tua. Selain itu, ada kasus di mana sekolah dan siswa terpaksa menempuh berbagai cara untuk lulus, termasuk manipulasi nilai dan kecurangan dalam ujian.