Agak lucu sebenarnya ketika sebagian dari masyarakat awam seperti saya menanyakan secara terus-menerus tentang mengapa Pemindahan Ibu Kota Negara perlu dilakukan dan dipindahkannya pun harus ke Kalimantan. Jika alasannya yakni hanya karena pemerataan dalam hal pembangunan menurut website Kementerian Sekretariat Negara seperti apa yang diucapkan oleh Jokowi, agaknya Kalimantan tak perlu-perlu amat sampai  dijadikan Ibu Kota Negara demi memeratakan kualitas pembangunan seperti apa yang telah dilakukan pemerintah di Pulau Jawa.Â
Alasan kedua, jika karena ingin mengurangi ketimpangan dalam hal jumlah populasi dan tingkat mobilisasi penduduk, maka hal tersebut tak bisa dilakukan dengan cara memindah ibu kota. Hal tersebut dikarenakan pulau Jawa memang terkenal dengan arus perputaran uang dan tingkat ekonomi serta kemajuan berbagai aspek yang unggul dari provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Lantas, mengapa Ibu Kota Negara harus dipindahkan? Saya sering berdebat dengan sesama rekan kerja tentang urgensi pemindahan Ibu Kota Negara dilakukan ke Kalimantan. Mulai dari apakah pekerja lokal akan dapat suaka di rumahnya sendiri, berapa banyak orang luar pulau Kalimantan yang harus dipindahkan dan dijamin hidupnya di Kalimantan, sampai apakah di akhir kita hanya menjadi penonton di rumah sendiri tentang babak baru masa depan Ibu Kota Negara.
Namun, pada tulisan ini tak hanya menyoal tentang alasan mengapa dipindahkannya Ibu Kota Negara perlu dilakukan. Melainkan potensi permasalahan lingkungan serta kerusakan alam yang muncul dari masifnya proyek pembangunan IKN di Kalimantan Timur. Setidaknya ada 4 kekhawatiran tentang potensi masalah lingkungan yang dirilis oleh berbagai sumber akibat dari masifnya proyek pembangunan IKN. Di antaranya sebagai berikut.
Penelitian tentang kerusakan lingkungan di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur, menunjukkan sejumlah kekhawatiran terkait dampak ekologis dari proyek pembangunan tersebut.
Deforestasi dan Reboisasi: Pembangunan IKN menyebabkan deforestasi yang signifikan di kawasan tersebut. Proses rehabilitasi hutan yang direncanakan pemerintah untuk mengatasi kerusakan lingkungan memiliki tingkat keberhasilan yang rendah. Misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya mampu melakukan reboisasi sekitar 900 hektare per tahun, dan memerlukan waktu sekitar 88 tahun untuk memulihkan kawasan hutan di IKN (VOA Indonesia).
Fragmentasi Hutan dan Satwa Liar: Pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol dan jalan raya, berpotensi menyebabkan fragmentasi hutan primer dan memutus koridor satwa liar antara kawasan hutan lindung di Kalimantan Timur (Mongabay.co.id).
Penggunaan Lahan dan Komitmen Lingkungan: Meskipun sebagian besar area IKN direncanakan untuk ruang terbuka hijau dan penggunaan energi terbarukan, banyak pengamat khawatir tentang dampak negatif yang muncul dari pembangunan infrastruktur dan pengembangan industri. Ada juga kekhawatiran bahwa proyek ini dapat meningkatkan tekanan terhadap lingkungan dan mengganggu kehidupan masyarakat adat di Kalimantan (Mongabay.co.id) (Indonesian National Library).
Regulasi dan Pengendalian: Pemerintah telah menerbitkan Surat Edaran Nomor: 03/SE/Kepala-Otorita IKN/I/2023 untuk mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan selama pembangunan konstruksi di wilayah IKN. Surat edaran ini menegaskan pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan rendah karbon (Indonesian National Library).