Penulisan ini dibawah persetujuan oleh Dosen Pengampu Mata Kuliah Kelas G Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang, Dr. H. Endeng, S.H., M.H.
Hukum Agraria merupakan suatu keseluruhan norma-norma hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur subjek hukum maupun objek hukum dalam bidang agraria. Adapun hukum agraria di Indonesia mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Secara filosofis bahwa Undang-Undang Pokok Agraria saat ini perlu ditelaah apakah masih berlaku secara efisien mengikuti perkembangan dalam masyarakat dan mampu mengikuti permasalahan dalam masyarakat. Sebagai payung hukum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria berlaku secara universal dalam kehidupan bermasyarakat.
Tanah merupakan bagian utama dalam agraria. Pemberlakuan hukum agraria di Indonesia harus memperhatikan tujuan dari pemanfaatan tanah itu dalam kegiatan bermasyarakat. Sebagai simbol sosial dalam masyarakat, penguasaan terhadap sebidang tanah itu punya arti sebagai nilai kehormatan, kebanggaan, dan keberhasialan bagi pemilik tanah tersebut dalam ekonomi, sosial, dan budaya sehingga pengaturan terkait pendafataran tanah sebagai implementasi penguasaan hak milik atas tanah itu dapat berlaku secara bijaksana. Hukum agraria merupakan cabang ilmu hukum yang mengatur hak-hak atas sumber daya alam meliputi hukum tanah, hukum air, hukum pertambangan, hukum perikanan dan hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa. Adanya pengaturan terkait hak-hak agraria yang diatur menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan lainnya. Akibat pemanfaatan tanah sesuai dengan kebutuhan manusia melalui perbuatan hukum sering menimbulkan hubungan hukum sebagai contoh pemilikan hak atas tanah. Selain itu tanah juga sering menjadi obyek yang sangat subur untuk dijadikan ladang sengketa oleh berbagai pihak dan kelompok.Â
Berbagai permalahan terkait tanah seakan kompleks dan manusia mempunyai ketergantungan terhadap tanah karena tanah sudah ada sebelum manusia dilahirkan sehingga manusia tidak dapat ada jika tidak ada tanah, Sehingga permasalahan terkait tanah itu perlu ditelaah dilakukan pengawasan dengan baik. Hukum agraria berlaku juga turut mengadopsi adanya hukum adat di Indonesia. Adapun hukum adat yang dicantumkan dalam hukum agraria seperti adanya hak ulayat dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa hak ulayat diakui sepanjang kenyataanya masih ada. Tanah ulayat tersebut dapat beralih fungsi menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi "bekas tanah ulayat". Tanah ulayat dapat berarti tanah milik adat yang secara pemanfaatan dan pengelolaannya kemudian diserahkan kepada masyarakat adat yang bersangkutan. Hal ini diakui dan dijelaskan pada Pasal 3 UUPA dengan beralasan asal tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Meskipun hukum adat bukanlah hukum yang tertulis seperti regulasi dalam bentuk kodifikasi, tetapi pemberlakuan dan pengakuan hukum adat sudah ada sejak lama. Dengan mengakui hak ulayat sebagai bagian dari hukum agraria berarti telah patuh terhadap peraturan perundang-undangan dan tunduk secara hukum.
Pengertian tanah ulayat juga didefinisikan oleh para ahli, seperti yang dijelaskan oleh Putu Oka Ngakan bahwa tanah ulayat adalah tanah yang dikuasai secara bersama oleh warga masyarakat hukum adat, dimana pengaturan pengelolaannya dilakukan oleh pemimpin adat (kepala adat) dan pemanfaatannya diperuntukkan baik bagi warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun orang luar. Tanah ulayat berlaku sampai seperti yang diakui pada masyarakat yang berada di provinsi Sumatera Barat. Ketiga jenis tanah ulayat yang terdapat pada masyarakat di Minangkabau yaitu tanah ulayat rajo, tanah ulayat suku, tanah ulayat nagari dan tanah ulayat kaum. Menurut penjelasan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Â bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan sumber daya alam oleh negara bertujuan untuk rakyat umum dan memberikan manfaat sosial yang merata. Dalam hukum agraria bukan hanya mengatur tentang tanah dalam segala aspeknya, tetapi juga tentang bumi dan ruang lingkupnya. Sehingga dengan adanya hukum agraria diharapkan pemanfaatan dapat secara merata berdasarkan tujuan awal berlakunya UUPA tersebut. Â
Efektivitas hukum agraria pada perkembangan zaman masih belum cukup baik, lalu diperlukan perbaikan demi perbaikan agar dapat menyempurnakan regulasi terkait hukum agraria pada saat ini dan masa yang akan datang. Tidak hanya sebagai payung hukum, kedepannya agraria harus dapat menjadi motivasi bagi ilmu hukum lainnya. Seperti adanya pengakuan hak atas tanah dalam hukum agraria menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, serta hak memungut hasil hutan.
Pemberlakuan hak atas tanah tersebut merupakan bagian dari tanah yang senantiasa juga punya fungsi sosial. Kemudian untuk mendukung berlakunya efektivitas hukum agraria diperlukan pemahaman dalam setiap diri individu terkait penggunaan agraria itu. Mengingat hukum agraria yang membahas tentang ruang lingkup nya secara rinci dalam kehidupan, oleh karena itu tidak hanya satu aspek saja melainkan juga aspek lainnya yang turut diperhatikan. Seperti adanya pengaturan terkait gadai dalam hukum agraria. Secara pemahaman masih kurang jelas apabila tidak melihat berdasarkan regulasi yang ada saat ini. Gadai sendiri secara sederhana berarti adanya perjanjian dengan barang yang dijadikan jaminan oleh para pihak yang terlibat.
      Sementara itu merujuk pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa hak gadai merupakan salah satu hak atas tanah, selain hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA. Sifat dari hak gadai hanya bersifat sementara. Adapun gadai tidak hanya diatur dalam hukum agraria, tetapi dalam hukum adat juga diakui keberadaanya. Seperti pada masyarakat adat juga melakukan sistem gadai untuk barang yang disepakati bersama. Hal ini dapat menjadi suatu ciri dari adanya hukum agraria yang menunjukkan tidak hanya membahas tentang pertanahan saja. Mengingat polemik terkait tanah yang tidak hanya satu permasalahan saja, namun dapat berkembang dan bertambah seiring perkembangan zaman. Berlakunya hukum adat dalam hukum agraria bermaksud memberikan nilai-nilai murni dari hukum itu sendiri. Salah satu ahli yaitu Boedi Harsono memberikan definisi bahwa hukum adat adalah hukum adat yang sudah dimurnikan atau saneering dari unsur-unsurnya yang tidak asli, dan dalam pembentukan UUPA yang digunakan sebagai bahan utama adalah konsepsi dan asas-asasnya. Adanya masyarakat hukum adat dapat dijadikan sebagai penyatuan dan ciri dari negara Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya.Â
Melalui masyarakat adat kemudian disatukan dalam satu kesatuan sehingga pemberlakuan hukum agraria dapat lebih efektif dengan harapan tidak adanya konflik. Selanjutnya menurut Ter Haar mengatakan bahwa hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan para fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Hukum agraria tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya adopsi dari hukum adat sebagai bagian kajiannya. Masyarakat dan pemerintah harus menyatu dalam pemberlakuan dari hukum agraria itu sendiri. Dengan diberlakukannya UUPA sebagai hukum agraria nasional, maka akibat hukum yang timbul adalah dicabutnya beberapa aturan hukum yang berlaku sebelum berlakunya UUPA. Peraturan yang dicabut itu demi mewujudkan efektivitas berlakunya hukum agraria meliputi adanya peraturan dalam hukum agraria yang pernah dicabut baik secara tegas maupun diam-diam. Dicabutnya peraturan tersebut dikarenakan sudah terdapat peraturan yang dinilai lebih selaras tentang perkembangan agraria. Efektivitas hukum agraria juga harus memperhatikan adanya asas-asas berlakunya tanah. Lebih lanjut mengenai hal itu, prinsip asas-asas tata guna tanah menurut Menurut H. Muchsin, dan Imam Koeswahyono ada tiga prinsip asas tata guna tanah, yaitu:
- Prinsip penggunaan aneka (Principle of Multiple Use), bahwa harus diupayakan perencanaan agar dapat memenuhi beberapa kepentingan sekaligus pada kesatuan tanah tertentu.
- Prinsip penggunaan maksimum (Principle of Maximum Production), bahwa perencanaan harus diarahkan untuk memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.
- Prinsip penggunaan yang optimal (Principle of Optimalization Use), bahwa perencanaan harus diarahkan agar memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pengguna tanpa merusak kelestarian kemampuan lingkungan.
Hukum agraria seiring perkembangannya tidak boleh luput dari pengawasan para pihak. Keberhasilan dari tujuan dan asas-asas dalam hukum agraria dapat terlaksana apabila didukung oleh semua pihak. Multi dimensi pemaknaan tanah mengakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pertanahan menjadi kompleks dan merupakan masalah lintas sektoral, serta dari sudut pandang hak individual, kepemilikan tanah merupakan komponen dari hak asasi manusia. Perhatian terhadap pendaftaran tanah dianggap penting dalam bagian dari hukum agraria. Mengingat tanpa adanya tanah yang sah terdaftar secara hukum maka bisa menimbulkan permasalahan yang sulit. Pihak yang bersengketa cenderung mempertahankan segala argumen untuk dapat memperoleh hak milik atas tanahnya tersebut. Sistem pendaftaran hak tampak dengan adanya Buku Tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar. Â Tanah di Indonesia saat ini masih banyak yang belum terdaftar. Oleh karena itu dapat menjadi bahan pertimbangan untuk peningkatan efektivitas dalam bidang agraria di Indonesia. Untuk membuat regulasi menjadi merata diperlukan perhatian dan penegakkan hukum tanpa adanya ketimpangan hukum. Perbuatan melanggar hukum dalam bidang agraria harus diselesaikan dengan bijaksana. Seperti adanya tanda batas pada tanah pada hak-hak guna bangunan dan hak pakai tidak boleh dihilangkan oleh pemegang hak tersebut.
Efektifitas hukum agraria dapat diberlakukan dengan adanya kepastian hukum sebagai jaminan dari bagian hukum agraria itu sendiri. Persengketaan dalam hukum agraria sebaiknya dilakukan dengan baik dan benar. Masalah yang timbul dapat diselesaikan melalui bukti-bukti dalam persidangan untuk mewujudkan penegakkan hukum yang efisien. Sebagai makhluk sosial, pemerintah dengan masyarakat harus bersama-sama melawan adanya tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hukum agraria memiliki permasalahan yang beragam dan penyebab dari terjadinya tidak hanya satu saja. Dalam kehidupan bermasyarakat, timbulnya masalah dapat diselesaikan dengan baik apabila semua pihak mampu menjalankan perannya. Peran pihak yang dimaksud yaitu antara pemerintah dengan masyakarat dinilai harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Sengketa dalam bidang agraria dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan kesepakatn yang bersifat "win-win solution'' dihindari dari kelambatan proses penyelesaian yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.