Sebagai hasil akulturasi budaya dari berbagai suku, etnis, dan antargolongan, silat Betawi merupakan kejeniusan lokal yang mewarnai sejarah Jakarta.Â
Namun, warisan budaya tak benda ini mulai terpinggirkan karena kalah pamor dengan kesenian-kesenian bela diri hasil budaya impor. Pencak silat telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda dunia dari Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) di Kolombia, 9-14 Desember 2019. Status tersebut diberikan karena pencak silat, termasuk silat Betawi dalam kelompok alirannya, dinilai memiliki akar tradisi yang kuat, terutama dalam dua aspek, yaitu bela diri dan mental-spiritual.Â
Dilansir dari lembagakebudayaanbetawi.org, sejarah silat betawi tidak terlepas dari sejarah perkembangan dan dinamika kota Jakarta. Sejak masih bernama Batavia, kota ini sudah menjadi kota kosmopolitan yang merupakan tempat pertemuan berbagai ragam budaya dan suku bangsa. Baca juga: Silat Purbaya, Perguruan Silat Betawi Asli Antroplog Universitas Indonesia Yasmin Zaki Shahab memperkirakan, etnis Betawi terbentuk sekitar tahun 1815-1893.Â
Oleh sebab itu, orang Betawi sebenarnya terhitung sebagai pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lainnya yang sudah terlebih dahulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Kemajemukan tersebut menyebabkan terjadinya pertukaran seni, budaya, adat istiadat, hingga ilmu bela diri yang berkembang saat itu atau yang lebih populer dengan istilah "maen pukulan" atau silat. Silat diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16 di mana masyarakat setempat pada masa itu sering mempertunjukkan seni silat di saat pesta perkawinan atau khitanan.
Sebagai pejuangÂ
Alat perjuangan Selain menjadi produk sosial yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari, silat Betawi juga dijadikan sebagai alat perjuangan masyarakat dalam perjuangan meraih kemerdekaan.
Pegiat kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, menuturkan, terdapat banyak jawara silat Betawi yang dulu ikut berjuang memperebutkan kemerdekaan Indonesia, mulai dari Guru Mahmud di Menteng, Entong Gendut di Condet, Guru Mujid bin Sa'abah di Tanah Abang, Haji Nawi di Mampang Prapatan, hingga Mualim Syafi'i Hazami di Gandaria. Para jawara saat itu berjuang bersama untuk memerdekakan bangsa Indonesia menggunakan keahlian pencak silat yang mereka miliki.Â
Masyarakat Betawi menyebutnya sebagai "maen pukulan". Pada saat itu, para jawara lebih banyak menggunakan permainan otot. Namun, seiring berjalannya waktu, maen pukulan Betawi mengalami evolusi. "Masyarakat atau generasi baru Betawi saat ini lebih mengutamakan penggunaan otak daripada otot. Mereka mengimplementasikannya dalam bentuk sastra, lukis, film, maupun humor," ujarnya.
terpinggirkan
Dalam wawancaranya dengan harian Kompas, Ketua Perkumpulan Betawi Kita, Roni Adi Tenabang, merasa prihatin dengan perkembangan silat Betawi saat ini. Itu karena ada kecenderungan saat ini pencak silat Betawi terpinggirkan dan dianggap kesenian kampung. Padahal, banyak hal positif yang terdapat dalam pencak silat, di antaranya menghargai sesama dan yang lebih tua. Di sekolah-sekolah, misalnya, seni bela diri karate dan taekwondo yang diimpor dari negara asing justru lebih terkenal dibandingkan dengan kebudayaan lokal yang dimiliki Betawi.
Meski begitu, silat Betawi sebenarnya masih berkembang dan diminati oleh warga. Buktinya, sanggar-sanggar silat Betawi masih eksis sampai sekarang. Namun, sayangnya, silat Betawi tidak dikelola dengan modern. Bahkan, ada kecenderungan satu kelompok merasa ekslusif dibandingkan dengan yang lainnya. Padahal, jika dikelola secara modern, silat Betawi dapat bernilai dan hidup secara berkelanjutan.