Mohon tunggu...
Arya Ardiansyah
Arya Ardiansyah Mohon Tunggu... -

* hanya tentang angin…………. malaikat pun ada seperti adanya angin.. tak bisa dilihat namun kita tahu kalau ia ada… berhembus, melayang, mengepakan sayapnya di sekitar kita..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyihir

24 Maret 2012   04:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:33 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tapi tunggu, ini belumlah selesai. Kau tahu terkadang aku begitu kesal dengan tingkahmu yang sesekali terasa peduli, namun di lain waktu kau begitu tak bisa kumengerti?

Kau tahu seperti apa rumitnya menerjemahkan rasa di hatimu, tentang begitu fleksibelnya hatimu yang bisa berubah karena satu rasa yang datang tiba-tiba? Salah, kau salah jika itu membuatku sakit kepala. Lebih dari itu, dari hal itulah kutahu seberapa penting aku untukmu. Dulu mungkin kau pernah berkata menyayangiku, namun di waktu yang deras mengalir ini aku tak sedikitpun yakin dengan kata-kata itu. Dimana kamu ketika aku begitu ingin kau dengar? Ah ya, tentu saja kau sedang berjalan dengannya, menyusuri tiap segi kotamu.

Menyadari semua hal aneh yang begitu biasa kau ceritakan padaku? Maaf ternyata aku fasih sekali membaca tentang tak mudahnya merasa untuk tak cemburu. Lalu, hahaha aku kian menyadari betapa biasanya aku. Kukatakan sekali lagi, walau mungkin kau sangat bosan membacanya berulang: Malaikat itu tak seharusnya merasa cemburu ketika melihat yang di kasihinya berjalan bahagia dengan seseorang yang Nyata ada. Harusnya ia menghujanimu dengan doa untuk bahagiamu yang lama. Bukan menggerutu tak henti jika kamu tak pernah mengerti isi hatinya. Kau salah menyebutku 'Malaikat-ku'.

Dan apa yang kau tahu ketika aku merasa begitu kesal ketika aku bisa di kelabui mimpi olehmu, tentang apa yang kupikirkan untuk kulakukan? Aku ingin menyihirmu, bukan menjadi batu, tapi kan kusihir kamu menjadi penyihir yang sama sepertiku, lengkap dengan bibir yang hitam dan topi lancip. Hanya saja aku merasa ragu, kau tetap tak akan menjadi seram seketika itu, karena pastinya kau tetap cantik walau berdandan serba Gothic. Mungkin akan ada yang menamaimu dengan: Penyihir berpipi bulat dan bermata lembab.

**

Di senja yang remang dan jalan yang berliku penuh batu aku akan tetap berjalan, bukan lagi kearahmu seperti dulu dengan menaiki kereta dan turun di stasiun tua kotamu. Kamu bertanya kemana arahku sekarang? Entahlah, namun yang jelas tak mengarah pada kota yang membuatku melantunkan lagu: Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu, merintih sendiri di telan deru kotamu. Ah, apa kau ingat ketika aku menulis status yang kukutip dari lagu Kla itu, kau meng-like-nya. Apa kau bermaksud mendoakan aku merasakannya? Sakit tahu ketika benar menyanyikan lagu itu saat benar pulang ke Jogjakarta.

Yang pasti aku akan berjalan pada suatu tempat yang tak lagi membuat hatiku kian rusak. Aku tak hendak memakai hatiku untuk merasakan kecewa sekali lagi. Apalagi aku tak ingin di suatu malam yang sunyi menyanyikan lagu 'Manusia Bodoh' dari Ada band.

Sudah ya curhatanku kali ini, mungkin dengan membacanya kau menjadi semakin sadar jika aku bukan orang baik yang sering kau kira selama ini. Ya, mungkin setelah membacanya kau makin yakin jika aku hanyalah pengeluh berbadan tinggi namun tak gemuk sepertimu. Dan terakhir untuk apa yang kita pernah lewati -Terimakasih telah pernah memilihku menjadi Keajaiban-mu. Tapi tentang niatanku untuk menyihirmu tetap tak berubah, walau kutahu kau akan tertawa dan berkata: kau telah menyihirku jauh sebelum itu, dengan kata-kata yang kau rekahkan di duniaku. Kenapa memilih menjadi penyihir jika kau bisa menjadi penyair?

"bukankah sudah pernah kukatakan jika aku pernah di kelabui mimpi, dimana aku pun sesat jalan ketika coba menuju arahmu? Dan apakah kau tahu sekarang, aku sedang terbang menuju dirimu, melewati senja yang remang dan berbatu. Tentu saja hendak menyihirmu, bukan lagi menjadi penyihir sama sepertiku, tapi menjadi hantu." Jawabku.

*beberapa bagian dikutik dari puisi Lupita Lukman: Penyihir

[end]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun