Kita Guru sebagaimana yang kita lihat adalah cermin bagi murid-murid. Poin utama ini haruslah hal yang pertama dan utama dicamkan didalam lubuk hati kita yang paling dalam seorang guru. Saya tidak ingin menggurui rekan-rekan kerja kita seperjuangan sebagai guru, seperti yang saya alami, banyak orangtua yang memberikan ekstra perhatian terhadap apa yang dilakukan oleh seorang guru. Bahkan, jika itu sesuatu yang benar pun, belum tentu berakhir dengan hal yang menyenangkan bagi seorang guru.
Sahabat saya, seorang guru berusaha memberikan pelayanan yang terbaik sebagai wali kelas dengan memberikan arahan kepada siswanya yang menjadi walinya. Suatu ketika seorang siswa binaannya melakukan suatu hal yang tidak menyenangkan kepada teman-temannya dikelas dan juga kepada sahabat saya tersebut. Kepada siswa tersebut diberi teguran dan surat panggilan orang tua, karena sikapnya sudah berlebihan menurut sahabat saya tersebut, maklum, didaerah kami mengajar sebagian besar orang tua siswa memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan buruh lepas, sehingga ‘dapat kami sampaikan’ bahwa watak yang dimiliki anak-anak dan orang tua agak keras.
Apa yang terjadi, sang anak memberikan perlawanan yang begitu keras kepada sahabat saya tersebut dan melakukan tindakan-tindakan ‘pemberontakan’ dan diluar dugaan bahwa keluarga sang anak tersebut memberikan dukungan kepadanya tersebut untuk melakukan perlawanan.
Ini sepenggal kisah yang ingin saya bagi. Ini kisah nyata. Bahkan, jujur, saya dulunya sering mengalami hal demikian. Mungkin juga banyak guru di Indonesia ini mengalami hal yang sama. Bahkan, ketika saya masih menjadi siswa SMP dan SMA, banyak dari guru saya meneteskan air mata ketika keluar dari kelas.
Saya disini tidak ingin menyalahkan kepada sahabat-sahabat saya, guru. Tapi saya ingin berbagi, dari kisah-kisah diatas, kita layak mengambil pelajaran dan memutar balikkan mainset kita mengenai anak-anak. Bukankah kita dulu, semasa di kampus diberikan mata kuliah Psikologi Pendidikan, Strategi Belajar Mengajar , Ilmu Pendidikan, dan bla..bla.. yang seharusnya menjadi bekal kita. Kemudian, yang kedua, bukankah kita ini lebih dewasa dari murid-murid kita. Sehingga tidak sebenarnya alas an bagi kita untuk gagal pada tataran ini.
Yang saya ingin tekankan disini adalah, kita, didalam benak kita, sering mengkotak-kotakkan anak didik kita, dan diantara kotak-kotak tersebut ada kotak yang kita beri label berwarna ‘merah’. Siswa yang berbahaya, siswa yang ‘malas’, siswa yang ….(negative list) dan seterusnya.
Kita patut mengutip kata-kata LouAnne Johnson dalam bukunya “Pengajaran yang kreatif dan menyenangkan”, membagi guru menjadi tiga bagian:
Super : Cirinya dating lebih awal dan pulang lebih akhir, rajin ikut MGMP, Seminar, mendapingi murid-muridnya dan memberikan bantuan kepada muridnya baik didalam maupun diluar kelas. Guru Super membutuhkan energi fisik, emosi dan mental yang sangat tinggi.
Excellent : cirinya menikmati profesi sebagai guru, memberikan waktu untuk siswa, lembur yang tidak dibayar, namun membatasi waktu mereka untuk kegiatan lain seperti keluarga.Guru Excellent lebih sedikit mengeluarkan energy fisik, emosi dan mental namun tetap melelahkan.
Good, Cirinya bekerja dengan baik dan memberikan batasan yang jelas antara profesionalitas dan waktu pribadi. Memastikan semua murid mempelajari materi tetapi tidak merasa wajib menyelamatkan muridnya satu persatu. Guru Good memelihara energy emosional dan mental mereka.
Namun saudara, sehebat apapun kita, bahkan gabungan dari ketiga kriteria diatas, ketika anak didik kita menolak kehadiran kita didalam kelas, maka semunya menjadi tidak berguna. Padahal belum tentu anak didik kita yang menolak kehadiran kita adalah anak-anak yang tidak memiliki kemampuan untuk sukses dalam bidang yang kita ajarkan, justru karena kita mereka bisa gagal.
Johnson menegaskan, “saya pikir kita terkadang lupa betapa rapuhnya anak-anak (bahkan orang dewasapun). Kita lupa betapa menyiksanya rasa sakit hati walaupun itu adalah hal yang kelihatannya sepele”. Patut menjadi perhatian kita, rekan pendidik, bahwa kontrol atas segala perkataan dan tindakan merupakan hal prinsip yang sudah tertanam dalam diri kita.
Terakhir, saya ingin berbagi, bahwa, jika anda ingin di Cinta dan “membumi”, sehingga murid kita senang dan menanti kehadiran anda, perhatikan 7 aksioma berikut:
1.Apa yang anda ucapkan, lakukan dan tunjukkan, menjadi standard an ukuran bagi mereka, maka jangan sekali-kali menunjukkan sesuatu yang negative dari hal tersebut.
2.Keteladanan menjadi harapan terbesar mereka.
3.Menjadi poin lekatan adalah pintu kesuksesan mereka.
4.Fokus terhadap apa yang anda kerjakan lebih membuat mereka lebih fokus terhadap anda.
5.Emosi yang terkendali membuat anda menang setiap waktu, jadi coretlah “Marah” dari kamus anda.
6.Motivasi adalah api yang membakar semangat mereka, pelan dan perlahan, lakukan tanpa henti.
7.Reward dan memaafkan akan membuka pikiran mereka untuk berbuat lebih banyak dan hebat lagi.
Peganglah 7 Aksioma di atas, maka saya sangat yakin akan banyak cerita-cerita bagaimana guru mengajar dan mendidik anak muridnya dengan rasa bahagia dan bangga, dimanapun guru itu berada.
Matematika seperti yang sering saya sampaikan kepada murid-murid saya adalah “Queen Of Science” bukan hanya menjadi penopang majunya ilmu pengetahuan lainnya, tetapi, lebih dari itu. Rasa bangga dan keyakinan saya bahwa matematika itu diajarkan bukan hanya masalah bilangan, aljabar, geometri dan sebagainya, tetapi lebih dari itu, matematika adalah rangkaian indahnya dunia ini yang dihiasi dengan Guru dan Murid yang berakhlaq mulia, karena matematika diajarkan hanya dalam rangka menyibak keagungan Tuhan.Semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
(Tulisan ini adalah tugas Diklat Online PPPPTK Matematika Angkatan 4)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H