Presiden RI dalam pidatonya di sidang konvensi perubahan iklim (UNFCCC) mengatakan bahwa 60% masyarakat Indonesia hidup di wilayah pesisir dan memiliki kerentanan dari dampak perubahan iklim. Untuk mengatasinya, Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29% dibawah business as usual pada tahun 2030, atau 41% dengan bantuan internasional. Di dalam pidatonya, Presiden Jokowi juga menyatakan penurunan emisi dilakukan dengan mengambil berbagai langkah termasuk dengan cara melakukan perlindungan keanekaragaman hayati laut.
Saat Presiden menyampaikan pidato, kawasan perairan Teluk Benoa, Bali sedang menghadapi ancaman dari rencana reklamasi seluas 700 hektar. Teluk Benoa sendiri merupakan kawasan perairan dengan ekosistem pesisir yang sempurna yakni terdapat mangrove, padang lamun dan disisi luar teluknya terdapat terumbu karang. Di dalam jejaring konservasi perairan di Bali, ekosistem pesisir Teluk Benoa dan kawasan sekitarnya seperti Sanur, Serangan, Nusa Dua memiliki keterkaitan yang erat dengan kantong-kantong keanekaragaman hayati perairan pesisir Kawasan Candidasa dan Kawasan Nusa Penida. Konservasi ekosistem pesisir Teluk Benoa dan kawasan sekitarnya akan semakin memperkuat ketahanan dan kelentingan (resistance and resilience) ekosistem pesisir Pulau Bali secara keseluruhan.
Kawasan perairan pasang surut Teluk Benoa juga merupakan wilayah penting bagi burung-burung lintas benua yang melintas di sepanjang timur Asia dan Australia serta Pasific (EAAF) karena Teluk Benoa merupakan tempat untuk beristirahat dan makan bagi burung-burung tersebut. Berdasarkan data IUCN (International Union for Conservation of Nature), burung dan habitat dari EAAF adalah warisan alam bersama bagi 22 negara, dan masing-masing negara memiliki hak untuk berbagi tanggung jawab dalam upaya pelestarian atau menerima kerugian apabila populasi burung migran menjadi hilang sebagai akibat dari kerusakan permanen situs EAAF ini di Teluk Benoa, Bali.
“Fakta-fakta tersebut menunjukan secara jelas bahwa Teluk Benoa kaya dengan keanekaragaman hayati. Hal tersebut harus diketahui oleh masyarakat dan juga pemerintah karena selama ini investor selalu menyatakan Teluk Benoa tidak memiliki keanekaragaman hayati. Jika reklamasi Teluk Benoa dipaksakan maka Negara akan mengalami kerugian besar karena harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan tentu saja komitmen Indonesia untuk melindungi keanekaragaman hayati gagal terwujud jika mendukung praktik pembangunan yang merusak seperti rencana reklamasi Teluk Benoa”, ujar Koordinator ForBALI, Wayan Gendo Suardana.