Mohon tunggu...
Ardian Nugroho
Ardian Nugroho Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis dan memotret menjadi cara saya untuk berbagi kesenangan dan keindahan alam dan budaya negeri.

Blog: www.ardiannugroho.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Hilangnya Bagong dari Punakawan

21 Agustus 2017   16:08 Diperbarui: 25 Agustus 2017   10:01 6273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marengtrukgong, kependekan dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, merupakan sebuah singkatan yang sering digunakan ayah saya untuk menyebut empat punakawan yang mengabdi pada Pandawa. Saking senangnya dengan mereka, ayah saya sampai membeli keempat karakter dalam wayang kulit tersebut beserta Arjuna. Kelima wayang kulit tersebut selanjutnya menjadi penghuni salah satu sudut dinding di rumah.

Sewaktu saya kecil, ayah juga kerap memanggil saya dan dua kakak laki-laki saya menggunakan karakter dalam pewayangan tersebut. Kakak pertama saya sebagai Petruk, kakak ketiga saya sebagai Bagong, dan saya dipanggil Gareng. Mungkin ayah mengira bahwa dia adalah Semar.

Marengtrukgong, kata tersebut kembali terucap saat saya berdiri di depan etalase kaca karakter wayang purwa yang dipajang di dalam Museum Radyapustaka Surakarta. Di etalase adegan Bambangan tersebut Punakawan Semar, Gareng dan Petruk berbaris menghadap Raden Wijanarka, Putra Arjuna, yang sedang dalam perjalanan dan berhenti di sebuah hutan.

Awalnya tidak ada yang aneh sampai saya mengeja kata marengtrukgong sekali lagi dan mendapati bahwa Bagong tidak ikut serta. Dalam barisan punakawan yang serupa dengan pajangan saya di rumah dengan susunan Arjuna menghadap Semar yang lalu diikuti Gareng dan Petruk di belakangnya, Bagong raib entah ke mana.

Punakawan tanpa Bagong bagai sayur tanpa garam. Sudah sejak kecil saya selalu diajarkan bahwa empat panawakan tersebut adalah satu paket. Dalam pentas pewayangan, mereka lah yang kerap ditunggu penonton dalam adegan gara-gara (baca: goro-goro). Di adegan tersebut mereka kerap menyelipkan pesan-pesan moral lewat cara yang lucu dan menghibur. Tapi kini sosok Bagong raib dari kelompok punakawan.

Pak Fajar (32) menjelaskan kepada saya tentang cerita yang ia dengar secara turun temurun tentang mengapa Bagong tidak ada di adegan Bambangan.
Pak Fajar (32) menjelaskan kepada saya tentang cerita yang ia dengar secara turun temurun tentang mengapa Bagong tidak ada di adegan Bambangan.
Syiar Islam

Rasa penasaran akhirnya membawa saya untuk bertanya kepada penjaga Museum Radyapustaka. Pak Fajar (32) membagikan cerita yang dia dapatkan secara turun temurun dari kakeknya. Hilangnya sosok Bagong berkaitan dengan penggambaran rakyat kecil yang dilihat dari sudut penyebaran agama Islam kala itu. "Punakawan ini kan merupakan gambaran rakyat kecil pada masa awal penyebaran agama Islam," ujarnya. Pada saat awal penyebaran agama Islam di tanah Jawa, masyarakat masih belum banyak mengerti tentang agama ini.

Pengetahuan mereka masih samar. Karena pengetahuan agama yang masih samar inilah muncul nama Semar sebagai punakawan tertua. Semar digambarkan sebagai orang yang jalannya maju mundur. Begitu juga dengan masyarakat yang masih ragu untuk memeluk Islam. Keraguan masih menyelimuti karena memang mereka belum sepenuhnya paham tentang agama yang datang dari Timur Tengah ini.

Waktu silih berganti, agama Islam mulai dikenal banyak orang di tanah Jawa. Orang-orang mulai tertarik dan memeluk agama Islam. "Setelah Semar itu kan ada Gareng, atau garing (kering). Pada masa ini orang-orang sudah memeluk Islam, tapi masih Islam KTP. Artinya mereka belum benar-benar menjalankan ajaran agama Islam," papar Pak Fajar. Oleh karena itulah sosok Gareng digambarkan dengan fisik yang tidak sempurna, tangannya ceko, kakinya pincang dan matanya juling.

Semakin berisi sebuah padi, maka sulurnya akan menunduk karena berat beras yang ada di dalamnya. Mungkin begitulah gambaran pada masa Petruk, masa setelah Gareng. Orang-orang di masa ini sudah lebih mantap dalam beragama. Pengetahuan mereka tentang agama Islam sudah lebih berkembang, juga dalam menjalankan ajaran agama.

Hal ini tercermin dari nama Petruk yang berasal dari kata fitrah. Petruk juga dilukiskan memiliki fisik yang sempurna dan terlihat mantap saat berjalan dan berbicara. Cara berjalan Petruk menunjukkan hablumminallah dan hablumminannas dengan ditandai oleh tangannya yang selalu mengarah ke atas dan ke depan. Hal ini bisa diartikan bahwa hidup harus berhubungan baik dengan Tuhan Yang Maha Esa dan manusia.

Lalu Bagong raib ke mana? Dan dia digambarkan seperti apa? Pertanyaan saya ini segera dijawab oleh Pak Fajar. Masih menurut cerita yang ia dengar dari kakeknya, Bagong memang sengaja tidak dimasukkan dalam Punakawan adegan Bambangan. Bagong sendiri dilukiskan sebagai orang bertubuh gemuk seperti Semar dan memiliki mulut besar. Matanya melotot. Cara berbicaranya sering menjengkelkan dan ceplas-ceplos. Pun begitu perkataannya selalu jujur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun