[caption caption="Benteng Vastenburg (dok.pri)"][/caption]Matahari sudah condong ke barat saat saya dan seorang teman sampai di depan Benteng Vastenburg. Suasana di sekitar benteng cukup sepi, saya hanya melihat seorang homeless yang sedang merapikan barang-barangnya. Dia beberapa kali melemparkan arah curiga kepada saya yang sedang menenteng sebuah kamera. Tampak bergegas ingin pergi begitu melihat saya mulai mengarahkan kamera ke arah benteng dan mengambil beberapa foto. Saya tak bermaksud untuk mengusirnya, tapi memang dia kelihatannya tidak nyaman dengan keberadaan kami di situ.Â
Kami berbincang di depan benteng, menduga-duga apakah kami bisa masuk ke dalam. Karena penasaran, akhirnya kami bertanya kepada seseorang yang lewat di depan kami. Pak Sukino namanya, salah satu homeless yang tinggal di Benteng Vastenburg. Dia memberitahu kami kalau Benteng Vasterburg ini tertutup untuk umum. Kami sedikit kecewa mendengarnya. Saya hanya bisa menengok dari balik pintu teralis. Pintu tersebut laksana pembatas antara dunia luar dengan masa lalu yang terkungkung di dalam benteng. Dinding tinggi yang mengitari benteng pun tampak mengamini hal tersebut.
Pak Sukino sepertinya bisa mengetahui bahwa kami tidak puas dengan apa yang kami dapatkan. Karena itu, dia mencoba menarik kami ke dalam masa saat benteng ini masih aktif digunakan. Melalui ceritanya, kami diajak merasakan bagaimana keadaan Benteng Vastenburg saat dia masih muda. "Di sini dulu ada sungai kecil, mas. Saya biasa mencari lele di sana," ujarnya. "Pernah saya hampir dapat satu kwintal, mas," sambil menunjuk sebuah penutup selokan yang terletak di lapangan depan benteng. Selanjutnya kata demi kata dari ingatannya meluncur dalam bentuk cerita. Kami hanya mendengarkan sambil mencoba mengimbangi dengan membayangkan situasi benteng melalui cerita Pak Sukino.
[caption caption="Salah satu pengunjung Benteng Vastenburg yang menjadikan benteng ini tempat singgah di kala malam menjelang (dok.pri)"]
Pak Sukino kini mulai bercerita tentang pekerjaannya sebagai pengumpul kardus, botol dan gelas bekas air mineral atau barang bekas apa pun yang sudah dibuang tapi masih bisa dijual. "Kenapa saya harus malu, mas. Kan saya tidak mencuri," tutur Pak Sukino, sambil sesekali menghisap rokoknya yang sudah hampir mencapai pangkalnya. Kemudian dihembuskannya asap rokoknya ke udara dengan lega seakan-akan memang sudah lama perasaan tersebut berada di dalam dada dan baru sekarang bisa dikeluarkan dengan bebas.
[caption caption="Pak Sukino yang menjadi salah satu "penghuni" benteng yang bekerja mengumpulkan barang bekas untuk kemudian dijual kembali. Baginya benteng ini merupakan tempat persinggahan sementara saat ada di Surakarta. Dok.pri"]
Barang-barang yang dia kumpulkan nantinya akan dibawa ke pengepul yang sudah biasa membeli barang-barangnya. Senyumnya mengembang saat menceritakan salah satu hari terbesarnya. Pernah dia mendapat banyak barang dari acara-acara yang diselenggarakan di depan Benteng Vastenburg. Bahkan sampai-sampai dia harus menyewa sebuah mobil untuk membawa barang-barangnya ke pengepul.
Pak Sukino hanyalah satu dari beberapa homeless yang tinggal di sekitaran Benteng Vastenburg. Benteng Vastenburg ini layaknya rumah bagi mereka. Di sini mereka tidur dan berkumpul dengan para penghuni lainnya. Penghasilan mereka yang tidak banyak sebagai pengumpul barang membuat mereka harus mengesampingkan keinginan untuk menyewa tempat tinggal yang layak. Toh selama mereka bisa merebahkan badan dengan tenang, itu saja sudah cukup. Mereka lebih memilih menggunakan uang yang didapatkan  untuk membeli makanan atau dikirim ke kampung daripada harus menyewa tempat tinggal. Saat pagi datang, mereka akan berkemas lalu pergi mengumpulkan barang-barang berharga yang dibuang di jalan untuk mereka jual lagi. Begitulah mereka, para penghuni Benteng Vastenburg yang ada, tapi jarang diperhatikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H