Kedua, bukan hal baru bahwa kemajuan teknologi sesekali bisa menjadi bumerang. Di samping akun-akun media sosial yang memberi edukasi dengan baik. Terdapat platform atau media lain yang lebih besar menyajikan cerita yang tidak mendukung hal tersebut. Media film misalnya, dengan produk film-film romantis remaja.
Tentu tidak semua film romantis remaja di Indonesia buruk. Tapi beberapa film seperti Little Mom yang menceritakan seorang anak SMA harus mengalami goncangan mental karena kehamilan yang dia alami.Â
Film ini  telah ditonton lebih dari 11 juta baik di dalam negeri maupun luar negeri. Selanjutnya ada sinetron Dari Jendela SMP, menceritakan gadis SMP yang mengira dirinya hamil dan masalah dalam sinetron tersebut terlalu berlarut-larut sampai menimbulkan kesalahpahaman, terdapat beberapa bagian dimana kedua tokoh utama dibuat menerima keadaan tersebut dan seolah akan menjalani kehidupan bersama. Selanjutnya, film terbaru berjudul Argantara.Â
Film ini tidak jauh beda dengan Little Mom ataupun Jendela SMP. Argantara menceritakan tentang perjodohan yang mau tidak mau harus dilakukan kedua tokoh utama di usia SMA.Â
Sebagai remaja mereka menunjukkan penolakan secara emosional dengan pernikahan dini tapi lagi-lagi hal itu dikemas sebagai proses perjalanan cinta yang penuh perjuangan (meromantisasi). Sejenis perngorbanan untuk menuju cinta yang sejati dan indah, mungkin begitu. Review menarik film Argantara bisa klik di sini.
Setidaknya 3 film di atas memiliki pola yang sama dalam meromantisasi pernikahan dini. TDengan jangkauan penonton ratusan ribu sampai jutaan. Target penonton usia 15-19 tahunan.Â
Tidak semua penonton di usia tersebut mampu memfilter informasi yang ia terima. Sehingga film seperti itu mampu memberi motivasi yang cukup bagi  ribuan remaja untuk melakukan hal serupa. Dimana dengan usia yang belum matang mereka mengadaptasi romantisasi hubungan percintaan dan mengabaikan kesiapan emosional maupun fisik.Â
Cukup bingung untuk memutuskan apakah film-film ini yang terinspirasi dari fenomena pernikahan dini atau pernikahan dini yang dialami anak muda kita yang terinspirasi dari film-film tersebut. Tapi ketika fil tersebut hadir di tengah masyarakat maka sedikit banyak akan membawa pengaruh. Sehingga paling tidak film Indonesia harus lebih peka dengan isu yang ada di sekitar.
Pernikahan dini tidak hanya disebabkan oleh ketidakmampuan anak dalam memfilter pergaulan atau minimnya pengetahuan tentang sex dan relationship yang sehat dan aman.Â
Lingkungan di sekitarnya akan turut memengaruhi, entah itu budaya yang menganggap lebih baik nikah daripada pacaran, argumen bahwa kodrat perempuan hanya 3 M (macak, manak, masak), atau hal-hal di sekitarnya yang secara tidak langsung meromantisasi pernikahan dini termasuk dalam hal ini film atau bahkan banyak media digital lainnya yang sejenis.Â
Artinya untuk menekan angka pernikahan dini bukan hanya anak yang harus diedukasi, orang tua, guru, public figure, dan seluruh komponen masyarakat harus bersinergi dalam mengaplikasikan edukasi tersebut baik secara langsung maupun tidak.