Mohon tunggu...
Astriana
Astriana Mohon Tunggu... Freelancer - Pengarang

Review, sastra, diktat kuliah, mental health

Selanjutnya

Tutup

Film

Review Film Dear Nathan: Thankyou Salma Film yang Mewakili Rentannya Pelecehan Seksual pada Perempuan

28 April 2022   11:19 Diperbarui: 6 Mei 2022   17:35 2516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dear Nathan: Thank You Salma adalah film ketiga dari trilogi Dear Nathan. Film yang resmi tayang 13 Januari 2022 itu kini bisa disaksikan di platform Netflix. Meskipun telah rilis cukup lama trilogi Dear Nathan masih memiliki banyak peminat, hal ini terbukit dengan masuknya Dear Nathan: Thank You Salma pada kategori Top 10 Netflix.

Romansa Nathan dan Salma di film ke-3 ini tidak begitu dramatis dan lebih relate dengan fenomena yang terjadi di masyarakat. Kisah mereka diawali dengan kesibukan keduanya di dunia perkuliahan. Nathan menjadi aktivis yang lebih suka turun ke jalan untuk menyuarakan pendapatnya sedang Salma lebih suka menuangkannya melalui media social digital.

 Perbedaan tersebut membuat hubungan mereka renggang. Ditambah lagi dengan munculnya orang-orang baru seperti Afkar, musisi sekaligus kakat tingkat yang diidolakan Salma. Kemudian ada Zana, korban pelecehan seksual yang mengalami trauma besar. Dalam kondisi tersebut Nathan dihadapkan pada dua pilihan memperjuangkan Salma atau memperjuangkan hak-hak Zana yang terampas dan membantu Zana keluar dari traumanya.

Film yang disutradarai oleh Kuntz Agus ini semakin menarik karena mengangkat isu yang berbeda dari sekuel sebelumnya. Secara umum Dear Nathan 3 menceritakan seorang gadis muda yang mencari bantuan setelah menjadi korban pelecehan seksual. Sementara si pelaku memiliki koneksi dengan orang-orang penting di sekolah gadis tersebut. Singkat cerita perhatian Nathan dan semua pemeran film Dear Nathan: Thank You Salma fokus pada kasus Zana. Mereka mencoba memperjuangkan hak-hak Zana yang dirampas. Namun, pihak kampus dan orang-orang yang berpihak pada pelaku melakukan playing victim. 

Kasus Zana seolah merepresentasikan lingkungan kita saat ini. Dimana pelecehan seksual rentan terjadi bukan hanya di tempat-tempat sepi. Di lingkungan pendidikan dan keramaian tindakan tersebut sangat mungkin terjadi. Sayangnya, korban yang mulai berani untuk speak up malah terkena playing victim. Meskipun pelecehan seksual juga mungkin terjadi pada laki-laki, perempuan lebih rentan mengalami hal tersebut. Pasalnya pelecehan seksual bukan berupa tindak pemerkosaan saja. Catcalling menjadi salah satu bentuk pelecehan yang susah disadari dan beberapa orang menormalisasinya sebagai "candaan"  saja.

Kehadiran film sebagai media massa yang bersifat menghibur berfungsi untuk menyampaikan pesan informatif dan edukatif pada masyarakat luas. Film-film di Indonesia saat ini mulai berani mengangkat isu-isu sensitif yang berkembang di masyarakat salah satunya tentang pelecehan sexual. Hal itu menjadi langkah yang bagus untuk mensosialisasikan pentingnya perlindungan kepada korban. Film lain yang juga mengangkat isu tersebut adalah "Marlina si Pembunuh 4 Babak" dan "Penyalin Cahaya".  

Bisa untuk bahan bacaan untuk kamu yang tertarik dengan isu pelecehan seksual

Data-data penting prostitusi di Indonesia http://intersections.anu.edu.au/issue... 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun