Bagian paling khas dan berani dari buku ini adalah saat Tere Liye mengeluarkan argumen-argumen padat untuk mengkritisi para pembajak buku serta pihak-pihak pendukung. Seperti pemaparan terkait G.H Subagja, penulis dengan buku jutaan oplah. Namun tidak menerima royalty sepeser pun karena sebagian besar karyanya dibajak. Atau dalam kalimat, "Dan marketplace, unicorn-unicorn ini berdalih, mereka tidak bisa mengawasinya satu per satu---sambil menikmati pendanaan belasan triliun karena omzet marketplace mereka terus naik."
Meskipun dibebani dengan pesan yang cukup berat. Dengan bahasa santai yang khas, Tere Liye berhasil mengemas perjalanan cinta Sintong, Mawar, serta Jess tetap seru dan unik. Dramatisasi percintaan yang diciptakan menghadirkan sudut pandang baru tetapi tetap natural.
Kekurangan
Kekurangan buku ini adalah saat penelusuran kasus hilangnya Sutan Pane dari dunia kesusatraan Indonesia ditindak lanjuti oleh Sintong. Padahal telah disebutkan sebelumnya. Jika tokoh Sintong tidak menemukan jawaban terkait hilangnya Sutan Pane, ia tetap bisa melanjutkan sidang skripsi dan lulus tanpa perpanjangan semester lagi. Pada akhir cerita disebutkan terbentuknya Yayasan Sutan Pane, dimana yayasan itu akan mengurus tulisan yang diwariskan oleh Sutan Pane. Dari sini jelas, bahwa kasus tersebut terkesan tidak memiliki urgensi dalam menggerakkan cerita. Terlebih tidak terlalu menghidupkan topik utama (yakni pembajakan buku). Ketika rahasia Sutan Pane terungkap pun tidak ada nasib tokoh yang berubah dan Sintong Tinggal malah melanjutkan study ke Belanda (tidak ikut menjadi pengurus yayasan).
Lepas dari kekurangan tersebut. Selamat Tinggal adalah karya yang jujur dari seorang Tere Liye. Ide dan penyampainya tetap berkesan. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah tersebut. Dengan membaca "Selamat Tinggal" berarti kita meninggalkan kebodohan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H