Kerusakan ekologi telah menjadi isu global yang mendesak, mengancam keberlanjutan lingkungan dan kehidupan manusia. Menurut laporan Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES, 2019), lebih dari satu juta spesies flora dan fauna di seluruh dunia terancam punah akibat aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan. Aktivitas seperti deforestasi, alih fungsi lahan, dan pencemaran lingkungan tidak hanya mengganggu ekosistem lokal, tetapi juga memperburuk perubahan iklim yang berdampak pada keseimbangan global.
Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, menghadapi tantangan yang signifikan. Data dari Global Forest Watch (2023) menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 10 juta hektar hutan primer dalam dua dekade terakhir akibat deforestasi. Hilangnya ekosistem alami ini memengaruhi kualitas lingkungan, meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, serta mengancam ketahanan pangan dan air bersih. Kondisi ini menjadi bukti nyata bahwa kerusakan ekologi adalah ancaman serius yang harus segera diatasi.
Kerusakan Ekologi: Sebuah Fenomena Global
Aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan menjadi penyebab utama kerusakan ekologi. Alih fungsi lahan, pembalakan liar, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kontrol telah menghancurkan habitat alami flora dan fauna. Di sektor agraris, penggunaan bahan kimia berlebihan mengurangi kesuburan tanah, mencemari air tanah, dan merusak organisme yang menjaga keseimbangan ekosistem.
Perubahan iklim yang ditandai dengan suhu global yang meningkat, naiknya permukaan laut, dan cuaca ekstrem merupakan dampak besar dari kerusakan ekologi. Keadaan ini mengancam keberlanjutan lingkungan, di mana manusia dan makhluk hidup lainnya harus menghadapi ancaman kelangkaan sumber daya.
Permasalahan Ekologi yang ada di Indonesia
Indonesia kini menghadapi tantangan berat akibat kerusakan ekologi di berbagai wilayahnya. Kalimantan, misalnya, mengalami tingkat deforestasi yang mengkhawatirkan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan aktivitas tambang. Dalam dua dekade terakhir, lebih dari 30% hutan Kalimantan telah hilang, seperti yang tercatat oleh World Resources Institute (2023). Tak hanya itu, kebakaran hutan yang kerap terjadi memperparah kerusakan lingkungan dengan menghasilkan kabut asap yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat, baik di dalam negeri maupun negara tetangga.
Di Sumatra, kerusakan ekologi sebagian besar terjadi pada lahan gambut. Lahan-lahan yang dulunya kaya karbon kini banyak dikeringkan untuk dijadikan area perkebunan, terutama kelapa sawit. Akibatnya, emisi karbon meningkat signifikan, dan risiko kebakaran lahan menjadi lebih tinggi. Selain itu, hilangnya hutan alami di Sumatra mengancam kelangsungan hidup spesies endemik seperti harimau Sumatra dan gajah Sumatra, yang populasinya terus menurun. Di sisi lain, Papua menghadapi tantangan berbeda dengan eksploitasi tambang yang masif. Aktivitas tambang emas dan tembaga tidak hanya menghancurkan ekosistem hutan primer, tetapi juga mencemari sungai, seperti Sungai Ajkwa, yang merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat adat di wilayah tersebut.
Dampak pada Lingkungan dan Kehidupan
Kerusakan ekologi memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan. Dalam konteks lingkungan, ekosistem yang rusak kehilangan fungsinya sebagai penyeimbang alami. Misalnya, hutan yang berfungsi sebagai penyerap karbon dan pengatur siklus air kini menjadi sumber emisi karbon karena deforestasi.
Selain itu, pencemaran air dan tanah memperburuk kualitas lingkungan hidup. Sungai yang tercemar limbah industri dan pertanian tidak lagi mampu mendukung kehidupan organisme air atau memenuhi kebutuhan manusia. Tanah yang kehilangan kesuburannya akan semakin sulit mendukung sistem pertanian berkelanjutan, sehingga mengancam ketahanan pangan.
Upaya untuk Mengatasi Kerusakan Ekologi
Diperlukan langkah konkret untuk mengatasi kerusakan ekologi. Pertama, pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi pada keberlanjutan dengan memprioritaskan pelestarian ekosistem. Misalnya, penerapan sistem pertanian organik dapat mengurangi penggunaan bahan kimia yang merusak tanah dan air.