"Saya tekankan, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, kita harus mencapai swasembada pangan. Kita harus mampu memenuhi dan memproduksi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia". Pidato Presiden Prabowo Subianto saat pengambilan sumpah jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia digedung MPR Senayan
Dalam semangat yang membara, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan kutipan diatas dalam pidatonya saat momen pengambilan sumpah jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024 di gedung MPR RI, Senayan. Pidato tersebut membawa banyak harapan bagi masyarakat agar Presiden Prabowo Subianto dapat benar-benar mewujudkan Swasembada Pangan bagi Indonesia. Swasembada Pangan memiliki artian salah satu dari target utama pembangunan pertanian ke depan. Program swasembada pangan ini mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena dengan tercapainya swasembada pangan secara otomatis langkah untuk mencapai ketahangan pangan akan terpenuhi (Sawit, 2010).Â
Indonesia sebagai negara agraris dengan potensi besar untuk menjadi lumbung pangan dunia. Dengan luas wilayah yang mencakup berbagai ekosistem, kekayaan sumber daya alam ini seharusnya mampu mendukung kebutuhan pangan nasional secara mandiri. Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.Â
Badan Pusat Statistik tahun 2024 mengungkapkan adanya perkiraan penurunan luasan panen padi di berbagai wilayah Indonesia, dimana pada tahun 2024 diperkirakan luas panen padi sekitar 10,05 juta hektare, ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 10,21 juta hektare luasan panen komoditas padi. Meski memiliki keunggulan geografis, dengan perkiraan penurunan luasan panen padi tersebut membuat Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan strategis seperti beras, gula, kedelai, dan daging sapi.
Seiring meningkatnya populasi, tantangan ketahanan pangan semakin kompleks. Pertumbuhan jumlah penduduk membutuhkan peningkatan produksi pangan, tetapi masalah seperti alih fungsi lahan pertanian, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan menjadi penghambat signifikan. Di sisi lain, program-program pemerintah seperti Food Estate sering kali menghadapi hambatan di tingkat implementasi, mulai dari lemahnya koordinasi antar pihak terkait hingga rendahnya partisipasi masyarakat lokal. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya menuju swasembada pangan tidak hanya membutuhkan sumber daya, tetapi juga perencanaan yang matang dan eksekusi yang terarah.
Dalam konteks global, banyak negara telah berhasil mengatasi tantangan serupa melalui pemanfaatan teknologi modern dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Misalnya, Jepang dan Korea Selatan mampu memaksimalkan produktivitas pertanian meski memiliki keterbatasan lahan. Namun, Indonesia tampaknya masih tertinggal dalam memanfaatkan potensi teknologi dan pengembangan SDM.Â
Dengan tantangan yang ada, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah apakah Indonesia benar-benar siap untuk melangkah ke arah revolusi pertanian yang diperlukan untuk mencapai swasembada pangan?, mari kita mengkaji secara kolektif untuk mendorong terwujudnya ketahanan pangan yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Secara individu saya akan mengkaji dari Dua faktor utama yang menjadi sorotan yaitu kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum memadai dan keterbatasan teknologi pertanian yang mendukung.
SDM Pertanian: Minimnya Partisipasi Generasi Muda Pada Sektor Pertanian
Di lapangan, petani Indonesia masih didominasi oleh generasi tua dengan tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),jumlah petani di Indonesia terus menurun, dari 31,70 juta petani pada tahun 2013 menjadi 29,34 juta petani pada tahun 2023 mayoritas petani hanya mengenyam pendidikan dasar, sementara minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian terus menurun.Â
BPS menerangkan jumlah petani muda di Indonesia pada tahun 2023 adalah 6,18 juta orang, atau sekitar 21,93% dari total jumlah petani di Indonesia. Data tersebut memaknai masih minimnya ketertarikan anak muda pada sektor pertanian, Hal ini akan berdampak pada stabilitas pangan dimasa mendatang karena tidak adanya regenerasi petani sebagai sebagai penyedia pangan.
Bukan tanpa alasan anak muda enggan memilih profesi sebagai petani, karena menjadi petani dimasa muda cenderung mendapatkan stigma negatif dari berbagai pihak karena pekerjaanya yang kotor dan tidak memberikan proyeksi masa depan yang baik. Sangat jarang petani didesa mendapatkan karir yang cemerlang dengan menjadi seorang petani.Â