Mohon tunggu...
Ardiabara Ihsan
Ardiabara Ihsan Mohon Tunggu... profesional -

Melompati Zaman...

Selanjutnya

Tutup

Money

Gaji

20 April 2011   02:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:37 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saya sangat tertarik berbicara tentang gaji. Maklum, semenjak mengenal dengan yang namanya uang, sangat ingin saya memiliki uang dengan jumlah tertentu, dihasilkan sendiri melalui kerja keras, dan menikmati hasil jerih payah tersebut. Saya sekolah pun, niat awalnya untuk mencari gaji (na’udzubillah...). Hahaha, maksud saya mencari kerja. Yah, tetap saja; namanya mencari uang. Kita semua tau lah. This is common issue and common need. Siapa yang tidak butuh uang? Sampailah saya pada satu ide, bahwa  “Saya harus mencari kerja untuk mendapatkan gaji. Kerja saya teratur, gaji saya pun lancar. Semakin keras saya bekerja, pastilah semakin besar gaji saya.”

Tapi kemudian, seiring waktu, keyakinan saya tentang gagasan tersebut sedikit berubah. Mungkin juga ditambah beberapa pengalaman berkesan (sekaligus menyakitkan) tentang uang, juga beberapa referensi buku yang saya baca, beberapa biografi para tokoh yang saya kaji, dan beberapa diskusi yang saya lakukan, serta beberapa penelitian yang saya lakoni. Gaji yang besar bukan solusi permasalahan saya. Kerja keras pun tak cukup untuk membuat sejahtera. Kemudian saya membayangkan, misalkan gaji saya saat ini Rp.5jt/bln. Mengambil range tertinggi gaji pegawai-pegawai standard. Dalam setahun saya akan menghasilkan Rp.60 juta. Sepuluh tahun kemudian menjadi Rp.600 juta. Sampai tahun yang keseratus, saya baru mendapat Rp.6 Milliar doang. Itu pun kalau sepanjang seratus tahun tersebut saya tidak makan, minum, dan membeli apa pun. Serta,  sudah nego dengan malaikat maut minta tenggang umur. Kapan jadi triliunernya? Pada detik ini, saya salut dengan Gayus Tambunan.

????

Maka saya kemudian putuskan, bukan hidup untuk mencari uang, tapi hidup mencari peluang. Tidak hanya dengan kerja keras, tapi juga dengan kerja cerdas. Dan gaji tidak usah saya tunggu-tunggu, biarkan gaji tersebut yang menunggu saya. Saya akan menentukan sendiri gaji saya. Aha, mungkin akan ada orang yang bersilangan, kenapa sih melulu tentang uang. Uang kan bukan segala-galanya. Ya, benar. Tapi segala-galanya memerlukan uang toh? Tidak, cinta tidak bisa dibeli pakai uang. Benar, namun saya akan membuat cinta saya lebih bermakna dengan banyak uang.  Tapi kan uang sumber kejahatan? Bukan uangnya yang sumber kejahatan, tapi tak ada uang yang menjadi sumber kejahatan. Apa uangmu akan kau bawa mati? Justru karena uang tidak bisa saya mati, maka saya harus mempunyai banyak uang untuk membekali anak cucu saya kelak supaya tidak susah payah lagi mencari uang. Tapi  orang kaya itu tidak bahagia? Apalagi orang yang miskin. Itu kalau orang kaya yang goblok. Kalau saya kaya, saya pasti akan berbahagia, dan membahagiakan orang lain.

Nah, diskusi saya kemaren sore bercerita tentang hukum probabilitas dan menunggu. Ternyata orang-orang kaya memiliki pola yang sama dalam memandang, menghasilkan, dan mendayagunakan uang. Demikian pula orang-orang yang tidak kaya. Orang-orang kaya menggunakan hukum probabilitas dalam menghasilkan dan mendayagunakan uang. Mereka mencari segala sumber kemungkinan uang dengan banyak cara. Karena semakin banyak cara yang dilakukan, semakin mungkin untuk mendapatkan uang yang banyak. Mendayagunakan uang pun untuk menghasilkan uang kembali. Uang dikumpul, investasi, beli aset, dan mengalir lagi. Meski tidur pun, uang mereka terus mengalir deras. Wajar sekali mereka kaya raya tanpa korupsi

Berbeda dengan orang miskin. Mereka menggunakan pola menunggu seperti yang juga tertera pada keterampilan dasar para pengemis atau pengamen. Menunggu orang memberi uang. Meskipun saya sedikit tidak setuju dengan pendapat ini, tapi ya memang secara prinsif seperti itulah keadaannya. Pengemis dan pengamen menjual skill dan menunggu uluran tangan orang memberi uang pada mereka. terlepas dari seberapa memelas, dan cemprengnya suara, tetap menunggu tangan di atas untuk memberi. Pada level yang lebih tinggi, tipe seperti mereka yang lain menunggu  tanggal 1 baru diberi. Terlepas dari berkualitas atau tidak apa yang telah dikerjakan. Makanya, saya setuju sekali dengan ucapan bahwa orang kaya itu kelebihan banyak cara. sedangkan orang tidak kaya kelebihan banyak alasan. Halah, biarlah itu urusan mereka. Yang penting sekarang perbaiki dahulu ide tentang uang, putuskan, ambil tindakan. Kalau saya, saya tidak mau mencari uang, tapi saya mau dicari-cari oleh uang. saya tidak mau bekerja untuk uang, tapi uang yang harus bekerja untuk kita.

Well, ini mungkin butuh penyempurnaan dengan kekuatan waktu. Karena menghasilkan uang butuh proses, dan proses ditentukan waktu. Namun menurut saya, benar waktu memiliki peranan penting. Masalahnya bukan kepada lamanya periode waktu, tapi berkualitas kah waktu tersebut. Berkait dengan waktu pun, akhirnya manusia terpolarisasi menjadi empat tipologi. Pertama,  mereka yang punya banyak waktu luang, namun tidak mempunyai uang. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk sesuatu yang sia-sia dan tidak menghasilkan uang. Tahu lah kita ini adalah golongan para “pengangguran”. Kedua, mereka yang biasanya punya banyak uang namun tidak punya banyak waktu. Hidup mereka dihabiskan untuk mencari kerja, kerja, dan kerja. Lupa waktu, lupa teman, lupa saudara. Pergi ketika ayam berkokok, pulang saat ayam berjongkok. Punya televisi mewah, yang nontonnya pembantu. Punya anak, tapi jarang sekali dicurahkan kasih sayang. Orang-orang seperti ini terjebak kepada hidup untuk mencari uang. maka tidak heran, semakin banyak uang mereka semakin sibuk, dan semakin tidak bahagia.

Ketiga, mereka adalah tipe yang terburuk. Tidak punya waktu luang dan tidak punya uang. Mungkin mereka bekerja, tapi hasil dari bekerja tidak cukup untuk menutupi pengeluaran. Ibaratnya besar pasak daripada tiang. Siang malam membanting tulang. Pergi pagi, pulang petang, penghasilan pas-pasan, pantat pegal-pegal, pala pusing-pusing. Kasihan. Semakin bertambah uang mereka pun, semakin bertambah pengeluaran mereka.

Hindarilah menjadi tipe orang seperti ini. Yang kita butuhkan adalah tipe yang keempat. Banyak waktu luang, dan banyak uang. mereka tidak lagi menunggu gaji. Tapi gaji yang menunggu mereka. Karena mereka menggaji diri mereka sendiri. Ciri dari mereka pun mirip, jumlah gaji dan tempo gajiannya berbeda-beda tergantung tingkat kecerdasan dan keuletan menghasilkan dan mendayagunakan gaji mereka. Bisa jadi setahun mereka hanya bergaji sekali, tapi gaji sekali mereka secara jumlah jauh melampaui gaji sepuluh tahun pegawai biasa. Mereka lah wirausaha, para entreprenur yang dedikasinya bukan mencari uang tapi mencari peluang.

Meski begitu, tetap saja ada faktor x setelah ide tentang uang, dan waktu. Itulah keberuntungan. Tapi keberuntungan pun adalah kumpulan fakta, pemikiran, dan tindakan yang membawa kita menuju tempat yang diharapkan. Karena keberuntungan adalah fakta, maka keberuntungan pun dapat diperbaiki. Fakta bisa diukur. Dan hanya sesuatu yang bisa diukur lah yang bisa diperbaiki. Jadi kita pun dapat memperbaiki keberuntungan kita.

saya kemudian teringat lagi celoteh ringan tapi menusuk dari salah seorang sahabat saya. “Di, orang kaya itu disebabkan karena dua hal. Pertama karena mereka menjadi wirausaha, kedua karena mereka korupsi. Jika ada pegawai swasta, negeri, atau apa pun itu, yang tidak memiliki usaha lain selain daripada statusnya sebagai pegawai, bisa dipastikan orang itu korupsi.” Hmm, mungkin saja ada benarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun