Tanggapan atas tulisan opini Franz Magnis-Suseno yang berjudul Golput datang dari pelbagai pihak. Tulisan yang dimuat pada 12 Maret lalu di kolom opini sebuah media massa terkenal di Indonesia itu menuai pro-kontra dalam memaknai tindakan golput pada kontestasi pemilihan umum (Pemilu).
Dosen Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), Fikri Tamau menjelaskan bahwasanya golput adalah bagian dari partisipasi politik. Bertolak dari pemikiran Samuel Huntington, seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat, partisipasi politik merupakan bentuk kesadaran masyarakat akan aktivitas politik.
“Partisipasi politik itu muncul sebagai imbas dari modernisasi politik. Ada partai, ada caleg, ada pencalonan. Kalau dulu kan kita cuman pilih partai dan siapa yang duduk di DPR ditentukan partai, yang memicu muncunya partisipasi politik. Bentuk kesadaran itu salah satunya untuk tidak memilih. Sehingga golput dianggap menjadi bagian dari partisipasi politik,” ujarnya saat ditemui di Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) UPNVJ, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Jumat (15/3/2019).
Imbuh dia, orang-orang yang golput pada umumnya kaum terdidik. Sebab, ia memilih golput dengan pertimbangan kritis atas calon atau pilihan yang disediakan untuk jadi seorang wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD) atau presiden.
”Umumnya mereka yang terlibat dalam golongan putih itu adalah orang-orang yang terdidik. Yang punya pendidikan cukup lah. Tahu, sadar akan politik, biasanya begitu. Biasanya orang-orang yang golput itu dia mengenyam bangku kuliah. Kemudian dia kan punya kesadaran ya, kritis. Sehingga pada ujung dari sikap kritis itu dia bisa memilih ataupun tidak memilih (golput, Red).”
Lanjutnya, pria kelahiran Manado, 3 Juli 1984 itu membedakan antara pemilih yang tidak memilih karena alasan yang bersifat administratif seperti keengganan untuk mengurus hak suaranya dengan pemilih yang golput. Dia bilang bahwa alasan yang sifatnya administratif seperti itu tidak termasuk ke dalam tindakan golput. Golput tergolong partisipasi politik, dan partisipasi politik itu merupakan aktivitas secara sadar masyarakat terhadap kegiatan politik.
Berdasar pada tulisan opini Franz Magnis-Suseno dijelaskan, golput merupakan gerakan yang menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas suara atau di luar gambar partai politik (parpol) peserta pemilu.
Mengenai opini Franz Magnis-Suseno yang mengatakan bahwa orang yang golput adalah orang bodoh, bermental tak stabil, dan psycho-freak, Fikri punya pendapat pribadi. Dia tidak setuju dengan pernyataan tersebut, sebab menurutnya tiap orang memiliki pilihannya masing-masing.
Dia juga menegaskan bahwa kita tak hidup di negara totaliter melainkan negara demokratis yang pemilihan umumnya berdasarkan asas Luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan Jurdil (jujur, adil). Jadi, dia bilang bahwa inilah kebebasan yang diberikan sistem demokrasi kita. Bahwa pemilih berhak tahu siapa calon yang akan dipilihnya dan berhak pula untuk memilih ataupun tidak memilih.
Komentar tidak hanya datang dari kalangan akademis. Pun Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPNVJ 2019, Belly Stanio mengungkapkan bahwa dirinya juga kurang setuju dengan pernyataan Franz Magnis-Suseno jika golputers (sebutan bagi orang yang golput) itu bodoh. Sebab, menurut dia itu sudah menjadi hak masing-masing pemilih. Asalkan golputnya itu dikembalikan kepada makna asalnya, yakni datang ke tempat pemungutan suara (TPS) kemudian coblos bagian putih di luar area peserta calon pemilu di surat suara itu.