“Golput di sini kan adalah orang yang mencoblos bagian putih di surat suaranya. Jadi bukan orang yang enggak datang ke TPS sama sekali. Jadi sebenarnya tidak apa-apa kalau dia mau golput. Cuman sayangnya, golput yang ada di masyarakat sekarang tuh benar-benar apatis enggak peduli sama sekali,” ujarnya saat ditemui usai salat Jumat di UPNVJ, Jumat (15/3/2019).
Golput dalam Perspektif Hukum
Menurut Dosen Hukum Tata Negara UPNVJ, Wicipto Setiadi, menyatakan bahwa istilah golput tak ada dasar hukumnya di peraturan perundang-undangan kita. Kemudian, dalam perspektif ilmu hukum sendiri, negara itu mengatur tentang hak warga negaranya untuk memilih bukan tidak memilih.
“Yang diatur kepada warga negara adalah hak untuk memilih. Bukan untuk tidak memilih. Jadi dari perspektif dari hukum itu yang diatur memilih bukan tidak memilih,” ujar Wicipto kala dihubungi via Whatsaap, Senin malam (18/3/2019).
Perihal asas Pemilu yang berdasar pada Luber dan Jurdil seperti yang termaktub pada Undang-undang Dasar 1945 (UUD ’45) Pasal 22E ayat (1) berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Menurut Doktor lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, bahwa segala asas pemilu yang mengacu pada luber dan jurdil sesungguhnya mengatur warga negara untuk memilih.
“Jadi Luber atau semuanya itu dalam rangka untuk memilih. Berarti bebas di sini bukannya bebas untuk tidak memilih. Bebas itu artinya bebas menentukan pilihannya sesuai hati nuraninya bukan berarti bebas untuk tidak memilih juga,” ucapnya.
Lanjutnya, menurut dia, jika calon atau kandidat yang ada tidak sesuai dengan harapan, maka pilihlah yang paling baik di antara yang tidak baik. “Jadi boleh dikatakan kalau memang tidak cocok pilihlah dari yang paling baik di antara yang tidak baik. Tapi bukan berarti kalau semuanya gak baik terus gak memilih, golongan putih gitu.”
Terkait anggapan bahwa golput merupakan hak politik warga negara, Wicipto mengutarakan pendapatnya bahwa hak yang diatur oleh negara yakni hak warga negara untuk bisa memilih.
“Hak warga negaranya itu memilih, bukan untuk tidak memilih. Yang diberikan oleh undang-undang dan juga konstitusi adalah hak untuk memilih bukan hak untuk tidak memilih,” pungkasnya.
Isi Opini Franz Magnis-Suseno