Menulis adalah sebuah aktivitas yang kompleks, bukan sekedar aktivitas psikomotorik halus semata karena yang berperan adalah otot-otot jari tangan. Tetapi adalah aktivitas holistik seluruh panca indera dan tubuh manusia. Dia melibatkan fungsi kognitif melalui pikiran, dan juga fungsi afeksi melalui perasaan. Maka Salah satu treatment yang sering diberlakukan untuk melepaskan ketegangan terhadap stres yang sering kita sebut dengan Katarsis. Pelepasan emosi. Adalah dengan menulis. Karena Menulis adalah aktivitas kompleks manusia secara holistik. Maka tidak salah bila kemudian hari atau tepatnya pada akhir-akhir ini muncul sebuah keilmuan baru yang menelisik karakter manusia melalui pola tulisan (tangan) yang dibuatnya. yang sering disebut dengan grafologi. Inti dari grafologi adalah perilaku manusia dinamikanya bisa dibaca melalui goresan pena. Sebelumnya kita ketahui bahwa perilaku manusia hasil dinamika aspek kognisi, afeksi dan psikomotorik seseorang. Dan yang paling mudah memahami adalah jika ditampakkan ke dalam sebuah karya tulis. Tulisan seseorang dalam berbagai kondisi emosinya tentunya berbeda, maka seorang penulis ketika sedang amarahnya memuncak atau sedih haru yang mendayu-dayu atau senang dalam tawa. Sehingga itulah yang mendasari adanya ilmu grafologi. "Membaca" karakter orang melalui tulisan yang dibuatnya. Tapi bukan itu yang akan kita perdalam disini, saya ingin mengatakan bahwa membudayakan budaya menulis. Mari menuliskan sejarah kita Kita Tahu bahwa menulis merupakan warisan kebudayaan yang tinggi. Sejarah mencatat bahwa peradaban besar di dunia selalu meninggalkan manuskrip-manuskrip berupa karya tulis, seperti mesir kuno dengan hyroglp nya. Menulis juga merupakan profesi yang sangat mudah ditekuni oleh setiap orang karena memang modal seorang penulis hanya pena, tinta dan kertas atau sekarang sudah beralih ke media digital seperti blog, note facebook, dengan alat bantu seperti laptop, netbook, dan sebagainya. Seorang politisi seperti BJ Habibie atau Prabowo Subianto juga beralih profesi menjadi seorang penulis dengan menulis ulang sejarah tentang peristiwa seputar peralihan orde baru ke orde reformasi, tentunya masing-masing memiliki versinya sendiri. Karena pada intinya adalah menulis adalah meninggalkan jejak sejarah bagi generasi berikutnya. Yaa.., karena bagaimana mungkin generasi sesudah kita mengerti peran kita, lebih dari itu bagaimana mewariskan estafet dakwah ini kepada generasi selanjutnya bila tidak ada data yang akurat yang kitra buat untuk mereka. Maka dari sinilah muncul urgensi sebuah kepenulisan. Hal ini pulalah yang mendasari Abu Bakar Ash Shidiq di masa kekhalifahan nya memerintahkan pengumpulan dan penulisan ulang Al Qur'an serta hadits Nabi SAW ke dalam sebuah kitab. Agar generasi selanjutnya mampu memahami islam yang sama dengan pemahaman para salaf. Membiasakan Menulis Lalu pertanyaan nya adalah bagaiman saya harus menulis dan apa yang harus saya tuliskan ? Pertanyaan yang berkecamuk dalam benak setiap penulis pemula sehingga jawabannya mudah sekali di tebak. ya saya tidak akan menulis atau saya akan menulis jika saya telah paham. Kemudian muncul pertanyaanlagi , Lha kapan paham nya ? petanyaan tak berjawab ini serting menghantui para penulis baru. Saya teringat buku Inspiring words for the writters karangan Ustadz Fauzil Adhim, Beliau menuliskan " Kalau engkau menulis untuk menuliskan kebenaran kenapa engkau berhenti karena tidak memiliki inspirasi, kecuali kalau engkau menulis karena berharap pujian dari orang lain". Jawaban yang singat jelas dan padat, maka jika ingin menulis ya menulis saja. Ambil pena dan kertas kemudian tulis, ambil laptop kemudian ketik. Revisi itu setelah tulisan jadi. Tulis saja apa yang terlintas dibenak kita. Nah selanjutnya adalah bagaimana ,menajamkan pena dan tulisan kita. Agar tulisan kita dapat menembus kedalam sanubari, membekas dalam hati dan menggugah nurani serta mengubah pribadi. Saya teringat nasehat KH Abdullah Gymnastiar bahwa hati hanya akan mampu disentuh dengan hati yang bersih. Maka kalau kita ingin tulisan kita mampu menggugah nurani dan membekas di hati tentulah yang pertama kita lakukan adalah menulis dengan hati. Tulisan yang lahir dari hati yang bersih. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. ( QS. Al Bayinah : 5 ) Maka seorang penulis itu, sejarusnya memperhatikan aspek ruhiyah. Seperti Imam Bukhari yang selalu melakukan shalat istikharah ketika menuliskan sebuah hadits. Karena kekuatan seorang penulis itu bukan pada kecerdasan nya mengolah kata dan memadupadankanya dalam suatu kalimat paragraf yang indah tapi adalah pada kedekatannya dengan Rabb nya. Itulah tulisan yang nantinya akan menyejarah dan membakas dalam jiwa serta mampu mengugah dan merubah. Wallahu a'lam bishawab www.ardhi.nurhidayahsolo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H